Kamis, 14 Maret 2013

"TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN"



OLEH LINGGAR TYAS ANJARSARI


BAB I
TEORI-TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Mutu pendidikan selalu menjadi sorotan dari berbagai pihak. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu pembelajaran serta teori pembelajaran. Teori-teori belajar menerangkan apa yang terjadi selama mahasiswa belajar. Berdasarkan perbedaan sudut pandang tentang proses belajar, maka teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu teori behaviorisme, teori kognitivisme, teori belajar berdasarkan psikologi sosial, dan teori belajar Gagne. Dilihat dari segi pendidikan itu sendiri, pada hakikatnya pendidikan sesungguhnya adalah belajar ( learning ). Dan selanjutnya pandidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu (1.) Learning to know  (2.) learning to do (3.) learning tolive together, learning to live with others, dan (4.) learning to be.
A.   Teori Behaviorisme
Menurut teori ini manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Prinsip utama teori ini ialah rangsangan dan timbal balik  serta peneguhan. Teori ini akan berpegang kepada anggapan bahwa pembelajaran meliputi  tanggungjawab guru, dan diawasi sepenuhnya oleh sistem pengajaran. Teori ini juga berlandaskan kepada anggapan bahwa pelajar akan mengekalkan sesuatu tindakan jika peneguhan yang bersesuaian diberikan kepadanya. Sebagai contoh, apabila seseorang pelajar diberikan ganjaran setelah menunjukkan sesuatu timbal balik, ia akan mengulangi timbal balik  tersebut setiap kali rangsangan yang serupa diberikan. (Galloway, 1976).
Thorndike merupakan orang yang pertama kali menerangkan beberapa macam teori Behaviorisme yang terkenal adalah :
1.      Classical Conditioning (Pavlov)
Menurut Thorndike menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. (Asri Budiningsih: 2005 )
 Teori ini didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar. Stimulus tidak terkondisi US (Unconditioning Stimulus) merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respon dalam bentuk reflex/ UR (Unconditioning Respon). Proses ini disebut extinion, apabila diberikan US respons CR  yang hilang dapat muncul kembali.
Dengan stimulus tanpa kondisi (US) diberikan suatu stimulus lain yang netral maka secara bersama kedua stimulus tersebut akan menghilangkan respon yang merupakan reflek (UR), dan akan timbul respon baru yang diharapkan (CR). Stimulus netral yang diberikan bersama stimulus pertama ini disebut stimulus terkondisi yang memang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar.
Secara singkat jalannya percobaan adalah sebagai berikut :
a)      Kepada anjing diperlihatkan makanan (anjing dalam keadaan lapar). Dalam percobaan anjing mengeluarkan air liur, jadi ada reaksi. Makanan disebut stimulus tak bersyarat (Unconditioning Stimulus) dan mengeluarkan air liur disebut reaksi tak bersyarat (Unconditioning Respon).
b)      Kepada anjing diperlihatkan sinar (anjing tetap dalam keadaan lapar). Ternyata tidak terlihat air liur. Pavlov ingin mencoba agar anjing dibuat bereaksi terhadap sinar yang diperlihatkan kepadanya. Caranya ialah dengan memberikan persyaratan berupa makanan yang secara alami dapat menimbulkan reaksi. Dalam hal ini belum terjadi peristiwa ‘belajar’ pada anjing.
c)      Sinar disorotkan, beberapa detik, kemudian makanan diperlihatkan. Pada percobaan terlihat mula-mula air liur tidak keluar, tetapi setelah melihat makanan, baru anjing bereaksi. Dalam hal ini belum terjadi peristiwa ‘belajar’ pada anjing.
d)     Pada poin yang ketiga, diulang dengan jarak pemberian makanan yang bervariasi.
Akhirnya pada frekuensi tertentu pada jarak waktu pemberian makanan tertentu, Pavlov berhasil membuat anjing bereaksi terhadap sinar tanpa diikuti pemberian makanan. Dengan kata lain, disebut bahwa stimulus (sinar) telah disyarati dengan makanan. Oleh karena itu sinar disebut stimulus beryarat dan peristiwa keluarnya air liur karena melihat sinar disebut respon bersyarat.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :
                    i.            Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
                  ii.            Law of Respondent Extinction  yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun. (Arie Asnaldi:2007)

2.      Operant Conditioning
Teori Skinner ini menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan S-R (Stimulus-Respon). Menurut Hill (1980) pemberian penguatan terhadap respons dapat diberikan secara kontinu (continuous reinforcement), dan selang seling (intermittment reinformcement).
Operant  Conditioning  menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :
a.     Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b.     Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning  itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. (asnaldi.2009).
Cara yang dipakai di dalam intermittent reinforcement ini dapat bermacam-macam dan dikelompokan menjadi ratio apabila pemberian penguatan tergantung pada jumlah respon yang diberikan) dan interval (apabila pemberian penguatan tergantung pada waktu).
Empat macam pemberian penguatan yang tidak bersifat kontinu atau yang dikelompokkan ke dalam cara pemberian penguatan intermittent, yaitu berdasarkan jadwal (Leahey & Harris, 1985) :
                    i.            Dengan perbandingan tetap (fixced ratio) : pemberian penguatan tergantung pada berapa kali individu memberikan respons.
                  ii.            Dengan perbandingan tidak tetap (bariable ratio) : disini tetap jumlah respons yang menentukan pemberian penguatan, tetapi perbandingan berubah-ubah dari penguatan ke penguatan berikutnya.
                iii.            Dengan interval tetap (fixced interval) : pemberian penguatan dengan jarak waktu tertentu.
                iv.            Dengan interval tidak tetap (variable interval) : pemberian penguatan dengan jarak waktu antara yang tidak tetap.
Selanjutnya menurut Leahey & Harris, ratiolah yang dapat memberikan hasil lebih baik dibanding dengan cara dengan interval.
Perbedaan antara classical dan operant conditioning terletak pada hal-hal tersebut dibawah ini :    
a)      Respons
Menurut Pavlov (classical conditioning) respon di kontrol oleh pihak luar, pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan kepada stimulus. Peranan orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respons perlu adanya suatu stimulus tertentu. Sebaliknya Skinner mengatakan bahwa pihak luar/ pengajarlah yang harus menanti adanya respons yang diharapkan/ benar.
b)      Penguatan
Pavlov mengatakan bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai hubungan dengan penguatan. Sebaliknya menurut Skinner responslah yang merupakan sumber penguatan. Adanya respon menyebabkan sesorang memperoleh penguatan, dan hal ini menyebabkan respons tersebut cenderung untuk diulang-ulang.
Prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan ialah:
                     i.            Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila mahasiswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya.
                   ii.            Materi pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis.
                 iii.            Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung.
                 iv.            Setiap kali mahasiswa dapat memberikan respon yang benar maka ia perlu diberi penguatan. (Hartley & Davies, 1978)
Contoh terkenal penerapan prisip behaviorisme di dunia pendidikan adalah pengajaran terprogram (programmed learning). Contoh lain penerapan behaviorisme di dunia pendidikan adalah prinsip belajar tuntas (mastery learning), yang menyatakan bahwa semua orang dapat belajar dengan baik apabila diberi waktu cukup dan pengajaran dirancang dengan baik pula.
3.     Social Learning  menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya,  Bandura  memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana  yang perlu dilakukan. (asnaldi.2009).
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan. (Arie Asnaldi:2007)

4. Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

5. Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

6. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).(http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik)


B.   Teori Kognitivisme
Menurut Galloway (1976) belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Proses belajar disini antara lain mencakup pengaturan stimulasi yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Teori ini berkaitan dengan ingatan yaitu ingatan jangka panjang dan ingatan jangka pendek.  Salah satu teori kognitif ialah pemprosesan masalah  yang digunakan dalam pengajaran pembelajaran komputer. 
Beberapa teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme dan yang seringkali dipakai didalam proses belajar mengajar ialah:
1.    Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Makin bertambahnya umur seseorang maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Travers, 1976).
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuat yang berada diluar tahap kognitifnya.
a)        Sensomotorik (0-2 tahun) yang bersifat ekstrenal,
b)        Preoperasional (2-6 tahun),
c)        Operasional konkrit (6/7-11/12 tahun) dan
d)       Jenjang formal (11/12-18 tahun) yang bersifat internal.
Worell & Stilwell juga menunjuk kelemahan-kelemahan pada teori yang diajukan Piaget ini, yaitu :
      i.     Dengan adanya teori Piaget, belajar individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks yang tidak dapat diuraikan dalam jenjang-jenjang.
    ii.     Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa ketrampilan-ketrampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai anak-anak yang belum mencapai umur yang sesuai dengan janjang-jenjang di teori Piaget.
  iii.     Sebaliknya, hasil-hasil penelitian juga menunjukan bahwa banyak orang yang tidak mencapai tahap operasi formal tanpa adanya manipulasi yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pembagian model dan semacam itu.
  iv.     Ketrampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahap umur.

2.    Teori Kognitif Bruner
Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Hilgard & Bower, 1981).
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap.
a.         Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan.
b.        Tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
c.         Tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.


Gage & Berliner (1979) menyimpulkan beberapa prinsip Bruner, yaitu :
1)        Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus dan diberikan.
2)        Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data yang diterima orang dari luar perlu diolah secara mental.
3)        Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol.
4)        Untuk mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara pengajar dan yang diajar.
5)        Perkembangan kognitif meningkatkan kemampuan seseorang untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak, memberikan perhatian kepada beberapa stimuli dan situasi sekaligus, serta melakukan kegiatan-kegiatan.
Implikasi Teori Bruner dalam proses pembelajaran adalah :
            i.            Menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah;
          ii.            Anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya; dan
        iii.             Dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dadalam benaknya. Untuk itu siswa akan mencoba melakukan sintesis, analisis, menemukan informasi baru dan menyingkirkan informasi yang tak perlu. (E. Mulyasa:2007)
3.Teori Belajar Bermakna Ausubel
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimiliasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyarata yaitu : (a) materi yang secara potensial bermakna, dan dipilih serta diatur oleh dosen dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan serta pengalaman masa lalu mahasiswa, dan (b) suatu situasi belajar yang bermakna. Advance Organizers ini merupakan kerangka (Entiwistle, 1981) dalam bentuk dan abstraksi atau ringkasan atau konsep-konsep dasar dari apa yang dipelajari dan hubungannya dengan apa yang telah ada didalam struktur kognitif mahasiswa.
Dari dalam proses belajar mengajar dosen dapat menerapkan prisip-prinsip teori belajar bermakna dari Ausubel melalui langkah-langkah sebagai berikut :
          i. Mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dan lain-lain teknik.
        ii. Memilih materi dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep kunci-kunci, mulai dengan contoh-contoh konkrit, kontraversial atau yang sifatnya aneh/tidak biasa.
      iii. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi baru.
      iv. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
        v. Memakai advance organizers.
      vi. Mengejar mahasiswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada, dengan memberikan fokus pada hubungan-hubungan yang ada.
Disini ternyata tampak perbedaan antara teori Bruner dengan teori Ausubel yaitu Bruner lebih menekankan adanya penemuan (discovery), sedang Ausubel lebih menekankan pada persepsi, yaitu adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasi oleh mahasiswa (Reilley & Lewis, 1983).
Disampaing itu, terdapat pula perbedaan antara teori behaviorisme dan kognitivisme, yaitu :
a.       Proses belajar menurut berhaviorisme adalah suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme adalah proses terjadi secara internal dalam otak dan meliputi ingatan dan pikiran.
b.      Hasil belajar pada behaviorisme merupakan suatu kebiasaan dan ditekankan pada adanya respon yang lancar, teori kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatau kognitif dengan menakankan pada pengetahuan faktual.
c.       Menurut behaviorisme belajar adalah proses trial and error dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah yang sekarang dihadapi dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Kognitivisme menekankan adanya pemahaman tentang yang dihadapi sekarang dengan dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Masalah disini harus berhubungan dengan apa yang pernah dipecahkan sebelumnya.

4. teori perkembangan moral kohlberg
Menurut kohlberg pendekatan yang baik yang harus dilakukan untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman tentang tahap – tahap perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan moral adalah untuk mendorong individu – individu guna mencapai tahapan – tahapan perkembangan moral selanjutnya. 
Kohlberg mencoba merevisi dan memperluas teori perkembangan moral yang dikemukakan  oleh piaget. Dalam perluasan teori ini kohlberg tetap menggunakan pendekatan dasar piaget yaitu menghadapkan anak – anak dengan serangkaian cerita yang memuat delima moral. Namun cerita yang dikembangkan oleh kohlberg lebih komplek dari cerita yang dipergunakan oleh piaget.
Ada 6 tahap perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg, keenam tahap tersebut masing – masing berada pada tiga level yaitu :
a. Pre – conventional level
Tahap 1 : the punishment and obedience orientation ( orientasi pada hukuman dan kepatuhan )
Pada tahap ini biasanya prilaku baik yang muncul pada anak – anak bukan tumbuh sebagai suatu kesadadaran akan kebaikan tersebut, akan tetapi hal itu muncul karena adanya konsekuensi tertentu bilamana mereka malakukan sesuatu tindakan.
Tahap 2  :  the instrumental relativist orientation.
Pada tahap ini pandangan terhadap perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan dirinya dan kadang – kadang kebutuhan orang lain.
            b. Conventional level
Tahap 3 : the interpersonal concordance of “ good boy – nice girl “ orientation ( orientasi “ anak manis”)
Pada tahap ini perilaku yang baik diartikan sebagai perilaku yang menyenangkan atau yang dapat membantu orang lain dan yang disetujui oleh mereka. Oleh karena tiu dsalam tahap ini seseorang akan bersikap mempertahankan perilaku yang baik bilamana olang lin dan lingkungan sekitar mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut merupakan perilaku yang baik.
Tahap 4 : the law and order orientation ( orientasi pada perintah dan hukum)
Pada tahap ini tinmdakan seseeorang lebih banyak berorientasi pada otoritas, aturan – aturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial.
            c. Past – conventional, autonomous, or pricipled level
Tahap 5 : the social contract legalistic orientation ( orientasi kontak sosial legalistik)
Dalam tahap oni perbuatan yang benar didefinisikan sebgai kebenaran individual secara umum dalam ukuran – ukuran yang standar yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Seseorang yang telah barada di thap kelioma ini telah memp[unyai kesadaran yang cukup tinggi akan adanya perbedaan individu yang berkaitan dengan nilai – niulai ataupun pendapat – pendapatnya.
Tahap 6 : The universal ethical principle orientation
Pada tahap ini apa yang dipandang benar tidak harus dibatsi oleh hukum atau aturan –aturan sosial, akan tetapi lebih dibatasi oleh kata hati dan kesadaran menurut prinsip – prinsip etik.

C.   Teori Belajar Berdasarkan Psikologi Sosial
Di dalam proses belajar mengajar sekarang banyak dipakai prinsip-prinsip teori psikologi lain, yaitu teori kepribadian dan psikologi sosial (Hartley & Davies, 1978).
Menurut teori ini proses belajar jarang sekali merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, tetapi melalui interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat :
a.       Searah, yaitu jika adanya stimulasi dari luar menyebabkan timbulnya respons.
b.      Dua arah, yaitu individu yang belajar dengan lingkungannya, atau sebaliknya, interaksi reciprocal yaitu apabila beberapa faktor yang mempunyai saling ketergantungan, seperti faktor-faktor pribadi, dan faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi dan menyebabkan adanya perubahan tingkah laku (Bigge, 1982).
Pandangan Psikologi Sosial Erik H. Erikson
Erik H. Erikson adalah salah satu dari kelompok Neo-Freudian, dimana mereka yang bertitik tolak dari kerangka pemikiran Psikoanalisa Freud.
Mengenai tahap – tahap perkembangan Psikologi ini Erikson mengemukakan adanya tahap perkembangan , yaitu :

  1. Trust vs Mistrust
Tahapan pertama ini berkaitan dengan persoalan apa yang patut dipercaya (trust) dan pa yang tidak dapat dipercaya (mistrust).Trust dalam hubungan ini diaartikan sebagai suatu kesesuaian antara kebutuhan – kebutuhan bayi dengan dunia sekitarnya .Berkaitan dengan mistrust, Erikson tidak melihat bahwa setiap tahap merupakan kunci untuk meguasai secara penuh kualitas moral pada tahap berikutnya. Dalam tahap pertama ini faktor kepercayaan atau ketidakpercayaan yang tumbuh dalam sikap sossial setiap orang merupakan faktor kritis. Apabila seseorang masuk kesituasi baru, maka yang bersangkutan harus mampu menentukan seberapa jauh ia dapat menaruh kepercayaan dan seberapa jauh ia harus menaruh kecurigaan. Dari apa yang dikemukakaan diatas nampak bahwa Erikson lebbih cenderung  mengembangkan suatu orientassi terhadap sifat dasar manusia.
  1. Autonomy vs Doubt
Dalam tahap ini Erikson mengidealisasikan tumbuhnya sifat – sifat positif (autonomi) dan sifat – sifat negatif ( doubt ) secara bersama sama. Dalam hubungan ini Erikson melihat bahwa pertumbuhan autonomy pada dasarnya memerlukan perkembangan rasa kepercayaan diri.
  1. Initiative vs guilt
Dalam pandangan Erikson konflik yang paling menonjol ditahap ketiga ini adalah perkembangannya suatu initiative terhadap satu sasaran atau tujuan  yang lain . Respon orang tua terhadap aktivitas anak yang ada kaitanbdengan initiative ini sebagai contoh yang berkaitan dengan perkembangan motorik, kemampuan berbahasa ataupun fantasi anak bisa jadi mempunyai arti yang cukup penting.
  1. Industry vs Inferiority
Tahap keempat adalah dimana anak anak mulaiu mampu menggunakan cara berfikir deduktif, disamping tumbuhnya kemauan untuk mau belajarmemahami aturan – aturan. Tahap Industry vs Inferiority ini9 meliputi dua kutub ekstrim, yaitu of industry dan sanse of inferiority. Pada tahap ini anak – anak mulai tertarik dengan apa saja yang dapat memberikannya kesibukan dengan seluk beluknya yang cukup rumit, seperti misalnya model – model pesawat terbang untuk anak laki laki dan aneka jenis resep makan untuk anak perempuan. Di dalam proses pembelajaran, orang tua harus memberi ruang kepercayaan bagi anak untuk tumbuhnya inisiatif dan kreativitas, untuk tumbuhnya rasa percaya diri anak. Penghargaan dalam berbagai bentuk perlu diberikan orang tua maupun guru. Sebaliknya usahakan seoptimal mungkin menghindari cemoohan atau celaan terhadap aktivitas maupun hasil kegiatan anak.
  1. Identity vs role confusion
Erickson memperluas konsep yang dikemukakan oleh Freud dengan mengajukan satu pendapat bahwa anak-anak di usia remaja harus mengembangkan identitas tersebut.Identitas tidak hanya mengembangkan kembali apa yang pernah di performasikan dalam tahap phalic akan tetapi harus dapat lebih dikembangkan kearah yang lebih progresif.
  1. Intimacy vs Isolation
Menurut Erikson konflik yang paling menonjol ditahap keenam adalah  intimacy disatu pikhak dan isolation dipihak lain. Ia melihat intimacy sebagai suatu kemampuan seseorang untuk berlaku baik dan bergaul secara harmonis dengan orang lain, dan isolation sebagai kebalikannya, dimana seseorang tidak lagi mampu berlaku baik dan bergaul dengan orang lain.


  1. Generativity vs self – absorption
Setelah memasuki gerbang perkawinan, kemudian membangun satu keluarga baru dan memulai suatu karier maka konflik berikut yang akan dihadapi seseorang adalah berkisar pada masalah pertumbuhan atau kemandegan. Dalam hubungan ini Erikson memperkenalkan istilah Generativity yang bertentangan dengan self – absorption.
  1. Integrity vs despair
  2. Dimensi psikososial yang mencerminkan tercapainya kematangan moral ditunjukan munculnya konflik antara integrity disatu pihak dengan despair dipihak lain. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa perkembangan tiap – tiap tahap harus didukung oleh pranata – pranata yang kuat, utamanya oleh orang tua dan berikutnya oleh berbagai unsur lingkungan dan masyarakat.

D.   Teori Belajar Gagne
Gagne berpendapat bahwa di dalam proses belajar terdapat dua fenomena, yaitu ketrampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan meningkatnya umur serta latihan yang diperolah individu, dan belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien.
Gagne mempunyai hierarki pembelajaran. Antaranya ialah pembelajaran melalui isyarat, pembelajaran timbal balik rangsangan, pembelajaran melalui urutan, pembelajaran melalui pembedaan dan sebagainya. Menurut Gagne, peringkat yang tertinggi dalam pembelajaran ialah penyelesaian masalah. Pada peringkat ini, pelajar menggunakan konsep dan prinsip-prinsip matematik yang telah dipelajari untuk menyelesaikan masalah yang belum pernah dialami (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Gagne (1985) menyebutkan adanya lima macam hasil belajar, yaitu :
1.        Ketrampilan intelektual/pengetahuan prosedural yang menckup belajar diskriminasi, konsep, prinsip dan pemecahan masalah, yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang disajikan di sekolah.
2.        Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat dan berpikir.
3.        Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendiskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.
4.        Ketrampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
5.        Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang, dan didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual.
Menurut Gane, belajar tidak merupakan sesduatu yang terjadi secara alamiah . akan tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu.yaitu ; (a) kondisi internal, antara lain menyangkut kesiapan peserta didik dan sesuatu yang telah dipelajari,(b)Eksternal, merupakan situasi belajar yang secara sengaja diatur oleh pendidik dengan tujuan memperlancar proses belajar.Tiap-tiap jenis hasil belajar yang dikemukakan sebelumnya memerlukan kondis-kondisi tertentu yang perlu di atur dan di kontrol.(Dr.Aunurrahma,M.pd, 2011. Belajar dan pembelajaran)
Gagne membagi tahapan proses pembelajaran menjadi delapan fase yaitu;
1. Motivasi
2. Pemahaman
3. Pemerolehan
4. Penyimpanan
5. ingatan kembali
6. generalisasi
7. perlakuan dan,
8. umpan balik.
(Ari Perwira:2010)

E.    Teori Instruksional
Teori instruksional tidak menjelaskan bagaimana suatu proses belajar terjadi, tetapi lebih merupakan penerapan prinsip-prinsip teori belajar, teori tingkah laku dan prinsip-prinsip pengajar dalam usaha mencapai tujuan-tujuan belajar.
Tekanan utama teori instruksional adalah pada prosedur-prosedur yang telah terbukti berhasil serta konsisten dengan konsep-konsep sosial, masyarakat, dan pendidikan. Tema utama teori instruksional ialah bahwa (Gagne, 1985) :
1.     Belajar merupakan suatu kumpulan proses yang bersifat individual, yang merubah stimuli yang datang dari lingkungan seseorang kedalam sejumlah informasi yang selnjutnya dapat menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk ingatan jangka panjang. Hasil belajar ini memberikan kemampuan kepadanya untuk melakukan berbagai penampilan.
2.     Kemampuan yang merupakan hasil belajar dapat dikategorikan sebagai bersifat praktis, dan teoritis.
3.     Kejadian-kejadian di dalam pengajaran yang mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan ke dalam kategori-ketegori umum, tanpa memperhatikan hasil belajar yang diharapkan. Namun untuk membentuk setiap hasil belajar diperlukan adanya kejadian-kejadian khusus.
Berdasarkan teori-teori psikologi dan teori belajar yang mendasarinya maka teori instruksional dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu (Snelbecker, 1974) :
a.     Pendekatan Modifiksi Tingkah Laku.
Teori instruksional ini didasari atas pendekatan modifikasi tingkahlaku, terutama dari Skinner, yang berpendapat bahwa apabila binatang saja dapat diajar untuk melakukan tugas-tugas yang sifatnya kompleks, maka orang pun akan dapat memanfaatkan prinsip-prinsip modifikasi tingkah laku yang diterapkan.
b.     Teori Instruksional Konstruksi Kognitif
Menurut Bruner teori instruksional yang baik adalah pengalaman belajar melalui penemuan (discovery). Serta untuk mengajar sesuatu tidak perlu menunggu sehingga kanak-kanak mancapai tahap perkembangan tertentu. Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral di mana bahan pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari tahap rendah sehingga ke tahap menengah, disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, makna dan hubungan melalui proses intuitif dan seterusnya menghasilkan suatu kesimpulan (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Teori ini mencakup empat prinsip utama. Pertama, bahwa untuk memungkinkan adanya proses belajar diperlukan motivasi dari pihak mahasiswa. Kedua, perhatikan perlu diberikan kepada pengaturan atau struktur bahan yang akan dipelajari. Ketiga, pengalaman-pengalaman belajar perlu diurutkan dengan baik, dengan memperhatikan jenjang perkembangan mahasiswa. Keempat, ia juga menyatakan perlu adanya pujian atau hukuman.  
c.     Teori Instruksional Berdasarkan Prinsip-Prinsip Belajar
Beberapa orang berpendapat bahwa prinsip-prinsip teori instruksional dapat di formulasikan dengan lebih baik diterjemahkan dari hasil-hasil penelitian tentang belajar dan dapat diterapkan untuk pendidikan sehari-hari di dalam praktek.
Bugelski seperti dikutip oleh Snelbecker mengidentifikasi beberapa puluh prinsip yang dapat digunakan bagi para pendidik. Informasi tersebut kemudian disingkat menjadi empat prinsip dasar, yaitu :
                      i.            Untuk belajar mahasiswa harus mempunyai perhatian dan responsif terhadap materi yang dipelajari.
                    ii.            Semua proses belajar memerlukan waktu.
                  iii.            Di dalam diri seseorang yang sedang belajar selalu terdapat suatu alat pengatur internal yang dapat mengontrol motivasinya serta menetukan sampai sejauh mana dan dalam bentuk apa seseorang akan bertindak dalam suatau situasi tertentu.
                  iv.            Pengetahuan tentang hasil yang diperoleh di dalam proses belajar merupakan faktor penting yang berfungsi sebagai pengontrol.
d.        Teori Instruksional Berdasarkan Analisis Tugas
Dalam teori ini dianjurkan agar dosen mengadakan analisis tugas (task analysis) secara sitematik menganai tugas-tugas yang harus dilakuka mahasiswa di dalam latihan atau situasi pendidikan, yang kemudian disusun secara hirarkis atau parallel tergantung dari urutan tugas-tugas dalam usaha untuk mencapai tujuan.
e.         Teori Instruksional Berdasarkan Psikologi Humanistik
Teori instruksional ini didasarkan lebih pada teori kepribadian dan psikoterapi daripada suatu teori belajar. Pada ahli dibidang ini berpendapat bahwa pengalaman emosional dan karekteristik khusus seseorang perlu diperhatikan di dalam penyusunan teori instruksional. Di samping itu perlu diperhatikan pula aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar.

F.    Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Aspek-aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu
  1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
  1. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
  1. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.
  1. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit. (Wikipedia : 2011)
formal operational.  Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.  Guru  hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.         Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.        Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.         Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.        Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.         Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya. (akhmadsudrajat.2008)
G.     Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. (asnaldi.2009)
H.    Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai   “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler,  ada enam prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
a.     Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna  dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka  akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b.     Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
c.     Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
d.    Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi  sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
e.     Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang  pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
f.      Ketertutupan (closure)  bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1.      .     Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2.          Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan  dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna  yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3.      Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah  aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4.      Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5.      Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.  Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek  dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi  apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.  Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. (Asnaldi.2009)

F. TEORI KONSTRUKIVESME

            Teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132). Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989:   159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7). Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61). Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi). Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.


DAFTAR PUSTAKA


_______. 2007. Artikel Ilmiah. http://geocities.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2007.

_______. 2007. Teori dan Strategi Pengajaran. http://Saungwali.wordpress.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2007.

________Teori Behavioristik dalam Pembelajaran tersedia dihttp://scribd.com/   teori_belajar_    dan_pembelajaran Diakses tanggal 23 September 2010


Asnaldi, Asri. 2009. Teori-Teori Belajar Proses Perubahan Tingkahlaku dan Belajar. http://asnaldi.multiply.com/journal/item/5. Diakses tanggal 14 september 2009.

Proses pembelajaran tersedia di http://docstoc.com/teori_belajarDiakses  tanggal  23 September 2010


Soekamto, Toeti. dkk. 1993. Prinsip Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Artikel Teori-Teori Belajar. http://akhmad sudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktifisme. Diakses tanggal 14 september 2009.

Tim MDK IKIP Semarang. 1990. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.

Teori-teori belajar proses perubahan tingkah laku dan belajar tersedia di
http://arsnaldi .multiply.com/journal/item/sDiakses tanggal 23 September 2010


Winatapura, Udin Saripudin. dkk.1997. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



_________Hilaludin2011.Teori belajar dan pembelajaran, E-learning. http://hilaludinwahid.com/teori-belajar-dan-pembelajaran-e-learning/. Diakses tanggal 18 september 2011

_________Wikipedia.2011.Teori belajar Beavoristik. http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik . Diakses tanggal 18 september 2011

_______Ahkmadsudrajat.2011.Teoribelajarkonstruktivisme.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/ . diakses tanggal 18 september 2011
Dr. Aunurrahman,M.pd.2011.Belajar dan pembelajaran.Bandung:ALFABETA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar