OLEH LINGGAR TYAS ANJARSARI
BAB I
TEORI-TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Mutu pendidikan
selalu menjadi sorotan dari berbagai pihak. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi
oleh mutu pembelajaran serta teori pembelajaran. Teori-teori belajar menerangkan apa yang terjadi
selama mahasiswa belajar. Berdasarkan perbedaan sudut pandang tentang proses
belajar, maka teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu teori
behaviorisme, teori kognitivisme, teori belajar berdasarkan psikologi sosial,
dan teori belajar Gagne. Dilihat dari
segi pendidikan itu sendiri, pada hakikatnya pendidikan sesungguhnya adalah
belajar ( learning ). Dan selanjutnya pandidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu
(1.) Learning to know (2.) learning to
do (3.) learning tolive together, learning to live with others, dan (4.)
learning to be.
A.
Teori Behaviorisme
Menurut
teori ini manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam
lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Prinsip
utama teori ini ialah rangsangan dan timbal balik serta peneguhan. Teori
ini akan berpegang kepada anggapan bahwa pembelajaran meliputi
tanggungjawab guru, dan diawasi sepenuhnya oleh sistem pengajaran. Teori ini
juga berlandaskan kepada anggapan bahwa pelajar akan mengekalkan sesuatu
tindakan jika peneguhan yang bersesuaian diberikan kepadanya. Sebagai contoh,
apabila seseorang pelajar diberikan ganjaran setelah menunjukkan sesuatu timbal
balik, ia akan mengulangi timbal balik tersebut setiap kali rangsangan
yang serupa diberikan. (Galloway, 1976).
Thorndike merupakan orang yang pertama kali menerangkan beberapa macam teori Behaviorisme yang terkenal adalah :
1. Classical Conditioning (Pavlov)
Menurut Thorndike menyatakan bahwa belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan,
atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan
tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu
yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. (Asri Budiningsih: 2005
)
Teori ini
didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi
emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks
setelah menerima stimulus dari luar. Stimulus tidak terkondisi US (Unconditioning Stimulus) merupakan stimulus yang secara biologis
dapat menyebabkan adanya respon dalam bentuk reflex/ UR (Unconditioning Respon). Proses
ini disebut extinion, apabila diberikan US respons CR yang hilang dapat muncul kembali.
Dengan
stimulus tanpa kondisi (US) diberikan suatu stimulus lain yang netral maka
secara bersama kedua stimulus tersebut akan menghilangkan respon yang merupakan
reflek (UR), dan akan timbul respon baru yang diharapkan (CR). Stimulus netral
yang diberikan bersama stimulus pertama ini disebut stimulus terkondisi yang
memang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar.
Secara
singkat jalannya percobaan adalah sebagai berikut :
a) Kepada anjing diperlihatkan makanan
(anjing dalam keadaan lapar). Dalam percobaan anjing mengeluarkan air liur,
jadi ada reaksi. Makanan disebut stimulus tak bersyarat (Unconditioning
Stimulus) dan mengeluarkan air liur disebut reaksi tak bersyarat
(Unconditioning Respon).
b)
Kepada
anjing diperlihatkan sinar (anjing tetap dalam keadaan lapar). Ternyata tidak
terlihat air liur. Pavlov ingin mencoba agar anjing dibuat bereaksi terhadap
sinar yang diperlihatkan kepadanya. Caranya ialah dengan memberikan persyaratan
berupa makanan yang secara alami dapat menimbulkan reaksi. Dalam hal ini belum terjadi peristiwa ‘belajar’ pada anjing.
c)
Sinar
disorotkan, beberapa detik, kemudian makanan diperlihatkan. Pada percobaan
terlihat mula-mula air liur tidak keluar, tetapi setelah melihat makanan, baru
anjing bereaksi. Dalam hal ini belum terjadi peristiwa
‘belajar’ pada anjing.
d) Pada poin yang ketiga, diulang
dengan jarak pemberian makanan yang bervariasi.
Akhirnya
pada frekuensi tertentu pada jarak waktu pemberian makanan tertentu, Pavlov
berhasil membuat anjing bereaksi terhadap sinar tanpa diikuti pemberian
makanan. Dengan kata lain, disebut bahwa stimulus (sinar) telah disyarati
dengan makanan. Oleh karena itu sinar disebut stimulus beryarat dan peristiwa
keluarnya air liur karena melihat sinar disebut respon bersyarat.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor
anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
i.
Law of Respondent
Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan
stimulus lainnya akan meningkat.
ii.
Law of Respondent Extinction
yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka
kekuatannya akan menurun. (Arie Asnaldi:2007)
2. Operant Conditioning
Teori
Skinner ini menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang
akan memberikan respon berdasarkan hubungan S-R (Stimulus-Respon). Menurut Hill (1980) pemberian penguatan terhadap respons dapat diberikan
secara kontinu (continuous reinforcement), dan selang seling (intermittment
reinformcement).
Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a.
Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. (asnaldi.2009).
Cara yang dipakai di dalam intermittent
reinforcement ini dapat bermacam-macam dan dikelompokan menjadi ratio
apabila pemberian penguatan tergantung pada jumlah respon yang diberikan) dan interval
(apabila pemberian penguatan tergantung pada waktu).
Empat macam pemberian penguatan yang
tidak bersifat kontinu atau yang dikelompokkan ke dalam cara pemberian penguatan
intermittent, yaitu berdasarkan jadwal (Leahey & Harris, 1985) :
i.
Dengan
perbandingan tetap (fixced ratio) : pemberian penguatan tergantung pada
berapa kali individu memberikan respons.
ii.
Dengan
perbandingan tidak tetap (bariable ratio) : disini tetap jumlah respons yang
menentukan pemberian penguatan, tetapi perbandingan berubah-ubah dari penguatan
ke penguatan berikutnya.
iii.
Dengan
interval tetap (fixced interval) : pemberian penguatan dengan jarak
waktu tertentu.
iv.
Dengan
interval tidak tetap (variable interval) : pemberian penguatan dengan
jarak waktu antara yang tidak tetap.
Selanjutnya
menurut Leahey & Harris, ratiolah yang dapat memberikan hasil lebih baik
dibanding dengan cara dengan interval.
Perbedaan
antara classical dan operant conditioning terletak pada hal-hal
tersebut dibawah ini :
a)
Respons
Menurut Pavlov (classical conditioning) respon di
kontrol oleh pihak luar, pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan
diberikan kepada stimulus. Peranan
orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respons perlu adanya
suatu stimulus tertentu. Sebaliknya Skinner mengatakan bahwa pihak luar/
pengajarlah yang harus menanti adanya respons yang diharapkan/ benar.
b)
Penguatan
Pavlov
mengatakan bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus)
mempunyai hubungan dengan penguatan. Sebaliknya menurut Skinner responslah yang
merupakan sumber penguatan. Adanya respon menyebabkan sesorang memperoleh
penguatan, dan hal ini menyebabkan respons tersebut cenderung untuk
diulang-ulang.
Prinsip-prinsip
teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan ialah:
i.
Proses
belajar dapat terjadi dengan baik apabila mahasiswa ikut berpartisipasi secara
aktif di dalamnya.
ii.
Materi
pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan
yang logis.
iii.
Tiap-tiap
respons perlu diberi umpan balik secara langsung.
iv.
Setiap
kali mahasiswa dapat memberikan respon yang benar maka ia perlu diberi
penguatan. (Hartley & Davies, 1978)
Contoh terkenal penerapan prisip behaviorisme di dunia pendidikan
adalah pengajaran terprogram (programmed learning). Contoh lain
penerapan behaviorisme di dunia pendidikan adalah prinsip belajar tuntas (mastery
learning), yang menyatakan bahwa semua orang dapat belajar dengan baik
apabila diberi waktu cukup dan pengajaran dirancang dengan baik pula.
3. Social Learning menurut Albert
Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga
teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif
masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu
tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga
akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan
skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir
dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. (asnaldi.2009).
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain
yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang
menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya
yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the
treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode
rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan
Dollard dengan teori pengurangan dorongan. (Arie Asnaldi:2007)
4. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati
dan diukur.
5. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama
untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
6. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti.
Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul
kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan
belajar peserta didik perlu
sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat
lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).(http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik)
B.
Teori Kognitivisme
Menurut Galloway (1976)
belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Proses belajar disini
antara lain mencakup pengaturan stimulasi yang diterima dan menyesuaikannya
dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Teori ini berkaitan dengan ingatan yaitu
ingatan jangka panjang dan ingatan jangka pendek. Salah satu teori
kognitif ialah pemprosesan masalah yang digunakan dalam pengajaran
pembelajaran komputer.
Beberapa
teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme dan yang seringkali dipakai
didalam proses belajar mengajar ialah:
1.
Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif
merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme
biologis perkembangan sistem syaraf. Makin bertambahnya umur
seseorang maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya (Travers, 1976).
Menurut Piaget proses belajar
seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai
dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilalui
berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuat yang berada
diluar tahap kognitifnya.
a)
Sensomotorik
(0-2 tahun) yang bersifat ekstrenal,
b)
Preoperasional
(2-6 tahun),
c)
Operasional
konkrit (6/7-11/12 tahun) dan
d) Jenjang formal (11/12-18 tahun) yang
bersifat internal.
Worell & Stilwell juga
menunjuk kelemahan-kelemahan pada
teori yang diajukan Piaget ini, yaitu :
i. Dengan adanya teori Piaget, belajar
individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan
kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks yang tidak dapat diuraikan dalam
jenjang-jenjang.
ii. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa
ketrampilan-ketrampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai anak-anak yang
belum mencapai umur yang sesuai dengan janjang-jenjang di teori Piaget.
iii. Sebaliknya, hasil-hasil penelitian juga
menunjukan bahwa banyak orang yang tidak mencapai tahap operasi formal tanpa
adanya manipulasi yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi,
pembagian model dan semacam itu.
iv. Ketrampilan ternyata lebih baik dipelajari
melalui urutan, bukan berdasarkan tahap umur.
2. Teori Kognitif Bruner
Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa
besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Hilgard & Bower, 1981).
Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap.
a.
Tahap
pertama adalah tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas-aktivitas
dalam usahanya memahami lingkungan.
b.
Tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal.
c.
Tahap simbolik, dimana ia mempunyai
gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.
Gage &
Berliner (1979) menyimpulkan beberapa prinsip Bruner, yaitu :
1)
Makin
tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula
ketidaktergantungan individu terhadap stimulus dan diberikan.
2)
Pertumbuhan
seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan
memproses informasi. Data yang diterima orang dari luar perlu diolah secara
mental.
3)
Perkembangan
intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan
gagasan melalui simbol.
4)
Untuk
mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara
pengajar dan yang diajar.
5)
Perkembangan
kognitif meningkatkan kemampuan seseorang untuk memikirkan beberapa alternatif
secara serentak, memberikan perhatian kepada beberapa stimuli dan situasi
sekaligus, serta melakukan kegiatan-kegiatan.
Implikasi Teori Bruner dalam proses pembelajaran adalah :
i.
Menghadapkan anak pada suatu situasi yang
membingungkan atau suatu masalah;
ii.
Anak
akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang
telah dimilikinya; dan
iii.
Dengan pengalamannya anak akan mencoba
menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam
rangka untuk mencapai keseimbangan di dadalam benaknya. Untuk itu siswa akan
mencoba melakukan sintesis, analisis, menemukan informasi baru dan
menyingkirkan informasi yang tak perlu. (E. Mulyasa:2007)
3.Teori
Belajar Bermakna Ausubel
Belajar seharusnya merupakan
apa yang disebut asimiliasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan
dihubungan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu
diperlukan dua persyarata yaitu : (a) materi yang secara potensial bermakna,
dan dipilih serta diatur oleh dosen dan harus sesuai dengan tingkat
perkembangan serta pengalaman masa lalu mahasiswa, dan (b) suatu situasi belajar
yang bermakna. Advance Organizers ini merupakan kerangka (Entiwistle,
1981) dalam bentuk dan abstraksi atau ringkasan atau konsep-konsep dasar dari
apa yang dipelajari dan hubungannya dengan apa yang telah ada didalam struktur
kognitif mahasiswa.
Dari dalam proses belajar
mengajar dosen dapat menerapkan prisip-prinsip teori belajar bermakna dari
Ausubel melalui langkah-langkah sebagai berikut :
i. Mengukur kesiapan mahasiswa (minat,
kemampuan, struktur kognitif) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan
dan lain-lain teknik.
ii. Memilih materi dan mengaturnya dalam
bentuk penyajian konsep kunci-kunci, mulai dengan contoh-contoh konkrit,
kontraversial atau yang sifatnya aneh/tidak biasa.
iii. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi baru.
iv. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus
dipelajari.
v. Memakai advance organizers.
vi. Mengejar mahasiswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada,
dengan memberikan fokus pada hubungan-hubungan yang ada.
Disini ternyata tampak
perbedaan antara teori Bruner dengan teori Ausubel yaitu Bruner lebih
menekankan adanya penemuan (discovery), sedang Ausubel lebih menekankan pada
persepsi, yaitu adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasi oleh
mahasiswa (Reilley & Lewis, 1983).
Disampaing itu, terdapat pula
perbedaan antara teori behaviorisme dan kognitivisme, yaitu :
a. Proses belajar menurut berhaviorisme
adalah suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan
menurut kognitivisme adalah proses terjadi secara internal dalam otak dan
meliputi ingatan dan pikiran.
b. Hasil belajar pada behaviorisme merupakan
suatu kebiasaan dan ditekankan pada adanya respon yang lancar, teori
kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatau kognitif dengan menakankan
pada pengetahuan faktual.
c. Menurut behaviorisme belajar adalah proses
trial and error dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah yang sekarang
dihadapi dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Kognitivisme menekankan
adanya pemahaman tentang yang dihadapi sekarang dengan dengan yang telah
dijumpai sebelumnya. Masalah disini harus berhubungan dengan apa yang pernah
dipecahkan sebelumnya.
4. teori perkembangan moral
kohlberg
Menurut kohlberg pendekatan yang baik
yang harus dilakukan untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman
tentang tahap – tahap perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan
pendidikan moral adalah untuk mendorong individu – individu guna mencapai
tahapan – tahapan perkembangan moral selanjutnya.
Kohlberg mencoba merevisi dan
memperluas teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh piaget. Dalam perluasan teori ini
kohlberg tetap menggunakan pendekatan dasar piaget yaitu menghadapkan anak –
anak dengan serangkaian cerita yang memuat delima moral. Namun cerita yang dikembangkan
oleh kohlberg lebih komplek dari cerita yang dipergunakan oleh piaget.
Ada 6 tahap perkembangan moral yang
dikemukakan oleh kohlberg, keenam tahap tersebut masing – masing berada pada
tiga level yaitu :
a. Pre –
conventional level
Tahap 1 : the punishment and obedience
orientation ( orientasi pada hukuman dan kepatuhan )
Pada tahap ini
biasanya prilaku baik yang muncul pada anak – anak bukan tumbuh sebagai suatu
kesadadaran akan kebaikan tersebut, akan tetapi hal itu muncul karena adanya
konsekuensi tertentu bilamana mereka malakukan sesuatu tindakan.
Tahap 2 : the
instrumental relativist orientation.
Pada tahap ini
pandangan terhadap perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara
instrumental memuaskan kebutuhan dirinya dan kadang – kadang kebutuhan orang
lain.
b.
Conventional level
Tahap 3 : the interpersonal
concordance of “ good boy – nice girl “ orientation ( orientasi “ anak manis”)
Pada tahap ini
perilaku yang baik diartikan sebagai perilaku yang menyenangkan atau yang dapat
membantu orang lain dan yang disetujui oleh mereka. Oleh karena tiu dsalam
tahap ini seseorang akan bersikap mempertahankan perilaku yang baik bilamana
olang lin dan lingkungan sekitar mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut
merupakan perilaku yang baik.
Tahap 4 : the law and order
orientation ( orientasi pada perintah dan hukum)
Pada tahap ini
tinmdakan seseeorang lebih banyak berorientasi pada otoritas, aturan – aturan
yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial.
c.
Past – conventional, autonomous, or pricipled level
Tahap 5 : the social contract
legalistic orientation ( orientasi kontak sosial legalistik)
Dalam tahap oni
perbuatan yang benar didefinisikan sebgai kebenaran individual secara umum
dalam ukuran – ukuran yang standar yang telah diuji secara kritis dan
disepakati oleh seluruh masyarakat. Seseorang yang telah barada di thap kelioma
ini telah memp[unyai kesadaran yang cukup tinggi akan adanya perbedaan individu
yang berkaitan dengan nilai – niulai ataupun pendapat – pendapatnya.
Tahap 6 : The universal ethical
principle orientation
Pada tahap ini apa
yang dipandang benar tidak harus dibatsi oleh hukum atau aturan –aturan sosial,
akan tetapi lebih dibatasi oleh kata hati dan kesadaran menurut prinsip –
prinsip etik.
C. Teori Belajar Berdasarkan Psikologi Sosial
Di
dalam proses belajar mengajar sekarang banyak dipakai prinsip-prinsip teori
psikologi lain, yaitu teori kepribadian dan psikologi sosial (Hartley &
Davies, 1978).
Menurut
teori ini proses belajar jarang sekali merupakan proses yang terjadi dalam
keadaan menyendiri, tetapi melalui interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat :
a. Searah, yaitu jika adanya stimulasi dari luar
menyebabkan timbulnya respons.
b. Dua arah, yaitu individu yang belajar dengan
lingkungannya, atau sebaliknya, interaksi reciprocal yaitu apabila beberapa
faktor yang mempunyai saling ketergantungan, seperti faktor-faktor pribadi, dan
faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi dan menyebabkan adanya perubahan
tingkah laku (Bigge, 1982).
Pandangan Psikologi Sosial Erik H. Erikson
Erik H. Erikson adalah salah satu dari kelompok Neo-Freudian, dimana
mereka yang bertitik tolak dari kerangka pemikiran Psikoanalisa Freud.
Mengenai
tahap – tahap perkembangan Psikologi ini Erikson mengemukakan adanya tahap
perkembangan , yaitu :
- Trust vs Mistrust
Tahapan pertama ini berkaitan dengan persoalan apa yang patut dipercaya
(trust) dan pa yang tidak dapat dipercaya (mistrust).Trust dalam hubungan ini
diaartikan sebagai suatu kesesuaian antara kebutuhan – kebutuhan bayi dengan
dunia sekitarnya .Berkaitan dengan mistrust, Erikson tidak melihat bahwa setiap
tahap merupakan kunci untuk meguasai secara penuh kualitas moral pada tahap
berikutnya. Dalam tahap pertama ini faktor kepercayaan atau ketidakpercayaan
yang tumbuh dalam sikap sossial setiap orang merupakan faktor kritis. Apabila
seseorang masuk kesituasi baru, maka yang bersangkutan harus mampu menentukan
seberapa jauh ia dapat menaruh kepercayaan dan seberapa jauh ia harus menaruh
kecurigaan. Dari apa yang dikemukakaan diatas nampak bahwa Erikson lebbih
cenderung mengembangkan suatu orientassi
terhadap sifat dasar manusia.
- Autonomy vs Doubt
Dalam tahap ini Erikson mengidealisasikan tumbuhnya sifat – sifat positif
(autonomi) dan sifat – sifat negatif ( doubt ) secara bersama sama. Dalam
hubungan ini Erikson melihat bahwa pertumbuhan autonomy pada dasarnya
memerlukan perkembangan rasa kepercayaan diri.
- Initiative vs guilt
Dalam pandangan Erikson konflik yang paling menonjol ditahap ketiga ini
adalah perkembangannya suatu initiative terhadap satu sasaran atau tujuan yang lain . Respon orang tua terhadap
aktivitas anak yang ada kaitanbdengan initiative ini sebagai contoh yang
berkaitan dengan perkembangan motorik, kemampuan berbahasa ataupun fantasi anak
bisa jadi mempunyai arti yang cukup penting.
- Industry vs Inferiority
Tahap keempat adalah dimana anak anak mulaiu mampu menggunakan cara
berfikir deduktif, disamping tumbuhnya kemauan untuk mau belajarmemahami aturan
– aturan. Tahap Industry vs Inferiority ini9 meliputi dua kutub ekstrim, yaitu
of industry dan sanse of inferiority. Pada tahap ini anak – anak mulai tertarik
dengan apa saja yang dapat memberikannya kesibukan dengan seluk beluknya yang
cukup rumit, seperti misalnya model – model pesawat terbang untuk anak laki
laki dan aneka jenis resep makan untuk anak perempuan. Di dalam proses
pembelajaran, orang tua harus memberi ruang kepercayaan bagi anak untuk
tumbuhnya inisiatif dan kreativitas, untuk tumbuhnya rasa percaya diri anak.
Penghargaan dalam berbagai bentuk perlu diberikan orang tua maupun guru.
Sebaliknya usahakan seoptimal mungkin menghindari cemoohan atau celaan terhadap
aktivitas maupun hasil kegiatan anak.
- Identity vs role confusion
Erickson memperluas konsep yang dikemukakan oleh Freud dengan
mengajukan satu pendapat bahwa anak-anak di usia remaja harus mengembangkan
identitas tersebut.Identitas tidak hanya mengembangkan kembali apa yang pernah
di performasikan dalam tahap phalic akan tetapi harus dapat lebih dikembangkan
kearah yang lebih progresif.
- Intimacy vs Isolation
Menurut Erikson konflik yang paling menonjol ditahap keenam adalah intimacy disatu pikhak dan isolation dipihak
lain. Ia melihat intimacy sebagai suatu kemampuan seseorang untuk berlaku baik
dan bergaul secara harmonis dengan orang lain, dan isolation sebagai
kebalikannya, dimana seseorang tidak lagi mampu berlaku baik dan bergaul dengan
orang lain.
- Generativity vs self – absorption
Setelah memasuki gerbang perkawinan, kemudian membangun satu keluarga
baru dan memulai suatu karier maka konflik berikut yang akan dihadapi seseorang
adalah berkisar pada masalah pertumbuhan atau kemandegan. Dalam hubungan ini
Erikson memperkenalkan istilah Generativity yang bertentangan dengan self –
absorption.
- Integrity vs despair
- Dimensi psikososial yang mencerminkan tercapainya kematangan moral ditunjukan munculnya konflik antara integrity disatu pihak dengan despair dipihak lain. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa perkembangan tiap – tiap tahap harus didukung oleh pranata – pranata yang kuat, utamanya oleh orang tua dan berikutnya oleh berbagai unsur lingkungan dan masyarakat.
D.
Teori Belajar Gagne
Gagne berpendapat bahwa di dalam proses belajar terdapat
dua fenomena, yaitu ketrampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan
meningkatnya umur serta latihan yang diperolah individu, dan belajar akan lebih
cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara
lebih efisien.
Gagne mempunyai hierarki pembelajaran. Antaranya ialah
pembelajaran melalui isyarat, pembelajaran timbal balik rangsangan,
pembelajaran melalui urutan, pembelajaran melalui pembedaan dan sebagainya. Menurut Gagne, peringkat yang tertinggi
dalam pembelajaran ialah penyelesaian masalah. Pada peringkat ini, pelajar
menggunakan konsep dan prinsip-prinsip matematik yang telah dipelajari untuk
menyelesaikan masalah yang belum pernah dialami (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Gagne (1985) menyebutkan adanya lima
macam hasil belajar, yaitu :
1.
Ketrampilan
intelektual/pengetahuan prosedural yang menckup belajar diskriminasi, konsep,
prinsip dan pemecahan masalah, yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang
disajikan di sekolah.
2.
Strategi
kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan
mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar,
mengingat dan berpikir.
3.
Informasi
verbal, yaitu kemampuan untuk mendiskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan
jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.
4.
Ketrampilan
motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan
gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
5.
Sikap,
yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang, dan
didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual.
Menurut Gane, belajar tidak merupakan sesduatu yang
terjadi secara alamiah . akan tetapi hanya akan terjadi dengan adanya
kondisi-kondisi tertentu.yaitu ; (a) kondisi internal, antara lain menyangkut
kesiapan peserta didik dan sesuatu yang telah dipelajari,(b)Eksternal,
merupakan situasi belajar yang secara sengaja diatur oleh pendidik dengan
tujuan memperlancar proses belajar.Tiap-tiap jenis hasil belajar yang
dikemukakan sebelumnya memerlukan kondis-kondisi tertentu yang perlu di atur
dan di kontrol.(Dr.Aunurrahma,M.pd, 2011. Belajar dan pembelajaran)
Gagne membagi tahapan proses pembelajaran menjadi
delapan fase yaitu;
1. Motivasi
2. Pemahaman
3. Pemerolehan
4. Penyimpanan
5. ingatan kembali
6. generalisasi
7. perlakuan dan,
8. umpan balik. (Ari Perwira:2010)
2. Pemahaman
3. Pemerolehan
4. Penyimpanan
5. ingatan kembali
6. generalisasi
7. perlakuan dan,
8. umpan balik. (Ari Perwira:2010)
E.
Teori Instruksional
Teori
instruksional tidak menjelaskan bagaimana suatu proses belajar terjadi, tetapi
lebih merupakan penerapan prinsip-prinsip teori belajar, teori tingkah laku dan
prinsip-prinsip pengajar dalam usaha mencapai tujuan-tujuan belajar.
Tekanan utama teori
instruksional adalah pada prosedur-prosedur yang telah terbukti berhasil serta
konsisten dengan konsep-konsep sosial, masyarakat, dan pendidikan. Tema utama teori instruksional ialah bahwa (Gagne, 1985) :
1. Belajar merupakan suatu kumpulan proses yang bersifat individual,
yang merubah stimuli yang datang dari lingkungan seseorang kedalam sejumlah
informasi yang selnjutnya dapat menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk
ingatan jangka panjang. Hasil
belajar ini memberikan kemampuan kepadanya untuk melakukan berbagai penampilan.
2. Kemampuan yang merupakan hasil belajar
dapat dikategorikan sebagai bersifat praktis, dan teoritis.
3. Kejadian-kejadian di dalam pengajaran yang
mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan ke dalam kategori-ketegori
umum, tanpa memperhatikan hasil belajar yang diharapkan. Namun untuk membentuk
setiap hasil belajar diperlukan adanya kejadian-kejadian khusus.
Berdasarkan teori-teori
psikologi dan teori belajar yang mendasarinya maka teori instruksional dapat
dibagi dalam lima kelompok, yaitu (Snelbecker, 1974) :
a.
Pendekatan Modifiksi
Tingkah Laku.
Teori instruksional ini didasari atas
pendekatan modifikasi tingkahlaku, terutama dari Skinner, yang berpendapat
bahwa apabila binatang saja dapat diajar untuk melakukan tugas-tugas yang
sifatnya kompleks, maka orang pun akan dapat memanfaatkan prinsip-prinsip
modifikasi tingkah laku yang diterapkan.
b.
Teori Instruksional
Konstruksi Kognitif
Menurut
Bruner teori instruksional yang baik adalah pengalaman belajar melalui penemuan
(discovery). Serta untuk mengajar sesuatu tidak perlu menunggu sehingga
kanak-kanak mancapai tahap perkembangan tertentu. Penerapan teori Bruner yang
terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral di mana bahan pelajaran
yang sama dapat diberikan mulai dari tahap rendah sehingga ke tahap menengah,
disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang
terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, makna dan hubungan
melalui proses intuitif dan seterusnya menghasilkan suatu kesimpulan (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Teori ini mencakup empat
prinsip utama. Pertama, bahwa untuk memungkinkan adanya proses belajar
diperlukan motivasi dari pihak mahasiswa. Kedua, perhatikan perlu
diberikan kepada pengaturan atau struktur bahan yang akan dipelajari. Ketiga,
pengalaman-pengalaman belajar perlu diurutkan dengan baik, dengan memperhatikan
jenjang perkembangan mahasiswa. Keempat, ia juga menyatakan perlu adanya pujian atau hukuman.
c. Teori Instruksional Berdasarkan
Prinsip-Prinsip Belajar
Beberapa orang berpendapat bahwa
prinsip-prinsip teori instruksional dapat di formulasikan dengan lebih baik
diterjemahkan dari hasil-hasil penelitian tentang belajar dan dapat diterapkan
untuk pendidikan sehari-hari di dalam praktek.
Bugelski seperti dikutip oleh Snelbecker
mengidentifikasi beberapa puluh prinsip yang dapat digunakan bagi para
pendidik. Informasi tersebut kemudian disingkat menjadi empat prinsip dasar,
yaitu :
i.
Untuk
belajar mahasiswa harus mempunyai perhatian dan responsif terhadap materi yang
dipelajari.
ii.
Semua
proses belajar memerlukan waktu.
iii.
Di
dalam diri seseorang yang sedang belajar selalu terdapat suatu alat pengatur
internal yang dapat mengontrol motivasinya serta menetukan sampai sejauh mana
dan dalam bentuk apa seseorang akan bertindak dalam suatau situasi tertentu.
iv.
Pengetahuan
tentang hasil yang diperoleh di dalam proses belajar merupakan faktor penting
yang berfungsi sebagai pengontrol.
d.
Teori
Instruksional Berdasarkan Analisis Tugas
Dalam teori ini
dianjurkan agar dosen mengadakan analisis tugas (task analysis) secara
sitematik menganai tugas-tugas yang harus dilakuka mahasiswa di dalam latihan
atau situasi pendidikan, yang kemudian disusun secara hirarkis atau parallel
tergantung dari urutan tugas-tugas dalam usaha untuk mencapai tujuan.
e.
Teori Instruksional Berdasarkan
Psikologi Humanistik
Teori instruksional ini didasarkan lebih
pada teori kepribadian dan psikoterapi daripada suatu teori belajar. Pada ahli
dibidang ini berpendapat bahwa pengalaman emosional dan karekteristik khusus
seseorang perlu diperhatikan di dalam penyusunan teori instruksional. Di
samping itu perlu diperhatikan pula aktualisasi diri, pemahaman diri, serta
realisasi diri orang yang belajar.
F.
Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Aspek-aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu
- Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah
refleks
bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya
dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
- Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua
dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan
bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari
fungsi psikologis muncul. Pemikiran
(Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara
mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang
jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan
objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris:
anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat
mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua
benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat
walau warnanya berbeda-beda.
- Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga
dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai
ciri berupa penggunaan logika yang memadai.
- Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal adalah
periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai
dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi
abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas
(saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia
dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran
moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa
orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia
tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap
menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit. (Wikipedia : 2011)
formal operational. Menurut
Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan
obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara
aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi
teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.
Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.
Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.
Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.
Berikan
peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.
Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya. (akhmadsudrajat.2008)
G.
Teori Pemrosesan Informasi dari Robert
Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah
bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. (asnaldi.2009)
H. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang
mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok
pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang
sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan
Kohler, ada enam prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
a.
Hubungan bentuk dan latar (figure
and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan
dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu
obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure
dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka
akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b. Kedekatan (proxmity); bahwa
unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang
pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
c. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu
yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling
memiliki.
d. Arah bersama (common direction);
bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung
akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
e.
Kesederhanaan (simplicity);
bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya
bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan
yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
f. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan
mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses
pembelajaran antara lain :
1. . Pengalaman tilikan (insight); bahwa
tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses
pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful
learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan
tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur
akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam
kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik
hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior);
bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat
hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang
ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik
mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta
didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space);
bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia
berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan
dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan
pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.
Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan
pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang
tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas
dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum
(generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah
menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi
untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.
Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. (Asnaldi.2009)
F. TEORI
KONSTRUKIVESME
Teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget.
Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak
untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir
hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi
dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada
tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi,
1988: 132). Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama
(Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7). Lebih jauh
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61). Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat
dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi
ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan
dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan,
melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5). Dari pengertian
di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berikut adalah
tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual
atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual
terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang
sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan
dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu
cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan
hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku
intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang
interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul
(akomodasi). Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme
sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan
dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery
dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang
(Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa
inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal
yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Adapun implikasi dari
teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)
adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
_______. 2007. Artikel Ilmiah. http://geocities.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2007.
_______. 2007. Teori dan Strategi Pengajaran. http://Saungwali.wordpress.com.
Diakses tanggal 1 Oktober 2007.
________Teori Behavioristik dalam Pembelajaran tersedia dihttp://scribd.com/
teori_belajar_ dan_pembelajaran Diakses tanggal 23 September 2010
Asnaldi, Asri.
2009. Teori-Teori Belajar Proses
Perubahan Tingkahlaku dan Belajar. http://asnaldi.multiply.com/journal/item/5.
Diakses tanggal 14 september 2009.
Soekamto, Toeti.
dkk. 1993. Prinsip Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudrajat, Akhmad.
2008. Artikel Teori-Teori Belajar. http://akhmad
sudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktifisme. Diakses
tanggal 14 september 2009.
Tim MDK IKIP Semarang. 1990. Psikologi
Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.
Teori-teori belajar proses perubahan
tingkah laku dan belajar tersedia di
http://arsnaldi
.multiply.com/journal/item/sDiakses tanggal 23 September 2010
Winatapura, Udin
Saripudin. dkk.1997. Teori Belajar dan Model-model
Pembelajaran. Jakarta:
Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_________Hilaludin2011.Teori
belajar dan pembelajaran, E-learning. http://hilaludinwahid.com/teori-belajar-dan-pembelajaran-e-learning/. Diakses tanggal 18 september 2011
_________Wikipedia.2011.Teori belajar Beavoristik. http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik . Diakses tanggal 18 september 2011
_______Ahkmadsudrajat.2011.Teoribelajarkonstruktivisme.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/
. diakses tanggal 18 september 2011
Dr. Aunurrahman,M.pd.2011.Belajar dan pembelajaran.Bandung:ALFABETA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar