BAB VIII
MODEL PEMBELAJARAN
BERDASARKAN MASALAH
ATAU PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI)
A.
Pengertian
Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction)
adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah
autentik (nyata) sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh
kembangkan keterampilan yang lebih tinggi memandirikan siswa dan meningkatkan
kepercayaan diri siswa (Arends, 1997:288).
Menurut John Dewey (1916,1938), proses belajar hanya akan terjadi kalau siswa
dihadapkan kepada masalah dari kehidupan nyata untuk dipecahkan. Dalam membahas
dan menjawab masalah, siswa harus terlibat dalam kegiatan nyata. Misalnya
mengobservasi, mengumpulkan data dan menganalisisnya bersama kawan-kawan lain
dalam kelompok atau di kelasnya.
Para psikologi Eropa, Jean Piaget dan Lev Vygotsky mempunyai peran
instrumental dalam mengembangkan konsep konstruktivisme yang banyak menjadi
sandaran PBL kontemporer. Perspektif Kognitiv Konstruktivis, yang menjadi
landasan PBL, banyak meminjam pendapat Piaget (1954, 1963). Perspektif ini
mengatakan, sperti yang juga dikatakan oleh Piaget, bahwa pelajar dengan umur
berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi
berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengkonstruksikan
pengalaman-pengalaman baru yang memaksakan mereka untuk mendasarkan diri pada
dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya. Menurut Piaget, pendagogi yang baik
itu :
Harus melibatkan penyodoran berbagai situasi dimana anak bisa
bereksperimen, dalam artinya yang paling luas-mengujicobakan berbagai hal untuk
melihat apa yang terjadi, memanipulasi benda-benda, memanipulasi simbol-simbol,
melontarkan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, merekonsiliasikan apa
yang ditmukannya pada waktu yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan
anak-anak lain. (Duckworth, 1991, hal.2)
Vygotsky (1978,1994) percaya bahwa intelek berkembang ketika individu
menghadapi pengalaman baru dan membingungkan dan ketika mereka berusaha
mengatasi diskrepansi yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman ini dalam
usaha menemukan pemahaman ini, individu menghubungkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan sebelumnya dan mengkonstruksikan makna baru. Keyakinan Vygotsky
berbeda dengan keyakinan Piaget dalam beberapa hal penting. Bila Piaget
memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui anak
terlepas dari konteks sosial atau kulturnya, Vygotsky menekankan pentingnya
aspek sosial belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain
memacu pengonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual
pelajar.
Model pembelajaran berdasarkan masalah bercirikan penggunaan
masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk
melatih dan meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan memecahkan masalah,
serta mendapatkan konsep-konsep penting. Pendekatan ini mengutamakan proses
belajar, tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan
mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam
pengembangan tingkat berfikir yang lebih tinggi dalam situasi yang berorientasi
pada masalah, termasuk pembelajaran bagaimana belajar (Arends, 1997:156).
Pembelajaran
berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses
berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran
ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan
menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya.
Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. (Ratumanan, 2002:123).
Menurut Arends (1997), pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri। Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti “pembelajaran berdarkan proyek (project-based instruction)”, ”pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction)”, “belajar otentik (authentic learning)” dan ”pembelajaran bermakna (anchored instruction)”.(Dahar 1998:125).
Menurut Arends (1997), pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri। Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti “pembelajaran berdarkan proyek (project-based instruction)”, ”pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction)”, “belajar otentik (authentic learning)” dan ”pembelajaran bermakna (anchored instruction)”.(Dahar 1998:125).
PBI juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, scaffolding, yaitu suatu proses yang membuat siswa dibantu
menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui
bantuan (scaffolding) dari seorang
guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Peran dialog juga penting,
interaksi sosial di dalam dan di luar sekolah berpengaruh pada perolehan bahasa
dan perilaku pemecahan masalah anak.(Nur 2000:7).
Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003)
menyatakan bahwa “Problem Based Learning is a way of constructing and
teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”.
H.S. Barrows (1982) menyatakan bahwa PBM adalah sebuah metode pembelajaran yang
didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik
awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan
sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
Pada pembelajaran berdasarkan masalah ini, guru berperan sebagai penyaji
masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan sebagai
pemberi fasilitas yang diperlukan siswa. Selain itu, guru memberikan dukungan
dan dorongan dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan perkembangan intelektual
siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat
menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran pendapat
(Arends,1997). Pembelajaran berdasarkan masalah juga banyak menumbuh kembangkan
aktivitas belajar, baik secara individu maupun secara kelompok.
Dalam pembelajaran berdasarkan masalah memerlukan adanya beberapa
kemampuan, diantaranya yaitu:
1.
Kemampuan
memecahkan masalah
Kemampuan memecahkan masalah hendaknya diberikan, dilatihkan dan
dibiasakan pada siswa sedini mungkin (Branco, 1980:3). Kemampuan memecahkan
masalah juga sangat penting bagi siswa yang akan mendalami bidang studi
tertentu maupun untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Rusefendi,
1991:291).
2.
Kemampuan
berfikir
Menurut Peter Reason (1981), berfikir (thinking) adalah proses
mental seseorang yang lebih tinggi dari sekadar mengingat (remembering) dan memahami (comprehending). Menurut
Reason mengingat dan memahami lebih bersifat pasif daripada kegiatan berfikir (thinking). Mengingat pada
dasarnya hanya melibatkan usaha penyimpanan sesuatu yang telah dialami untuk
suatu saat dikeluarkan kembali atas permintaan; sedangkan memahami memerlukan
pemerolehan apa yang didengar dan dibaca serta melihat keterkaitan antar-aspek
dalam memori. Berfikir adalah istilah yang lebih dari keduanya. Berfikir
menyebabkan seseorang harus bergerak hingga di luar informasi yang
didengarnya, misalkan kemampuan berfikir seseorang untuk menemukan solusi baru
dari suatu persoalan yang dihadapi.
Kemampuan berfikir memerlukan kemampuan mengingat dan memahami, oleh sebab
itu kemampuan mengingat adalah bagian terpenting dalam mengembangkan kemampuan
berfikir. Artinya, belum tentu seseorang yang memiliki kemampuan mengingat dan
memahami memiliki kemampuan juga dalam berfikir. Sebaliknya, kemampuan berfikir
seseorang sudah pasti diikuti oleh kemampuan mengingat dan memahami. Hal ini
seperti yang dikemukakan Peter Reason, bahwa berfikir tidak mungkin terjadi
tanpa adanya memori. Bila seseorang kurang memiliki daya ingat (working memory), maka orang tersebut
tidak mungkin sanggup menyimpan masalah dan informasi yang cukup lama.
Pengajaran berdasarkan masalah di lain pihak berdasarkan psikologi kognitif sebagai
pendukung teorotis. Fokus pengajaran tidak terlalu banyak pada apa yang
dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan apa yang dipikirkan (kognisi mereka) pada saat melakukan
kegiatan itu. Walaupun peran guru pada saat pembelajaran berdasarkan masalah
kadang melibatkan presentasi dan menjelaskan sesuatu hal kepada siswa, namun
yang lebih lazim berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa
belajar untuk berfikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri.
Guru perlu
untuk menyajikan situasi masalah dengan hati-hati atau
dengan prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi masalah.
Panduan yang diberikan langsung tentang bagimana melaksanakan demonstrasi dapat
membantu dalam pembelajaran berdasarkan masalah. Situasi masalah harus
disampikan kepada siswa semenarik dan setepat mungkin. Biasanya memberi
kesempatan kepada siswa untuk melihat, merasakan dan menyentuh sesuatu dapat
memunculkan ketertarikan dan memotivasi inkuiri. Seringkali menggunakan hal-hal
yang tak terduga (suatu masalah di mana hasilnya di luar harapan dan
mencengangkan) dapat menggungah minat siswa.
B.
Ciri-ciri Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Ciri utama PBL adalah bahwa pengetahuan dicari dan
dibentuk oleh siswa dalam upaya memecahkan contoh-contoh masalah dunia nyata
yang dihadapkan kepada mereka (Amin, 2003). Jadi dari menghadapi problem, siswa
membentuk pengetahuan baru melalui langkah analisis terhadap
pengetahuan-pengetahuan baru yang mereka kumpulkan. Ini adalah khas proses
pembelajaran dengan PBL. Dalam PBL, masalah dibahas dalam kelompok-kelompok
kecil. Dalam pembahasan ini mereka catat apa saja yang sudah mereka ketahui
untuk menjawab masalah dan apa saja yang belum mereka ketahui. Mereka
mengumpulkan data dan pengetahuan yang belum mereka ketahui itu dengan menggunakan
berbagai sumber. Mereka menganalisis seluruh data dan pengetahuan yang
terkumpul, untuk menjawab masalah. Tugas guru adalah mengamati seluruh proses
dan memberikan bantuan bila diperlukan.
Adapun ciri-ciri lain model pembelajaran berdasarkan masalah adalah
sebagai berikut :
1. Pengajuan Pertanyaan atau Masalah
PBI
mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduanya secara sosial penting dan secara pribadi
bermakna untuk siswa. Menreka mengajukan situasi kehidupan nyata, menghindari
jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai solusi untuk situasi itu.(Trianto,2009:3).
Pengaturan pembelajaran berdasarkan masalah berkisar pada masalah atau
pertanyaan yang diajukan guru dan dianggap penting bagi siswa maupun
masyarakat. Menurut Arends (dalam Ratumanan, 200:126), pertanyaan dan masalah
yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Autentik, yaitu masalah harus sesuai dengan pengalaman dunia nyata siswa
dari pada dengan prinsip-prinsip disiplin akademik tertentu.
b. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan siswa
menyelesaikan masalah tersebut.
c. Bermakna, yaitu masalah yang diberikan hendaknya bermakna (meaningful)
bagi siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa.
d.
Luas dan Sesuai dengan
Tujuan Pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat
luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan
diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia. Selain itu,
masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan.
e.
Bermanfaat, yaitu masalah yang disusun dan
dirumuskan haruslah bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun
guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat
meningkatkan kemampuan berfikir dan memecahkan masalah siswa, serta
membangkitkan motivasi belajar siswa.
2. Keterkaitannya
dengan Berbagai Disiplin Ilmu
Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah hendaknya
mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu. Meskipun
pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu
(IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih
benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari
banyak mata pelajaran. Sebagai contoh, masalah polusi yang dimunculkan dalam
pelajaran di teluk Chesapeake mencakup berbagai subyek akademik dan terapan
mata pelajaran seperti biologi, ekonomi, sosiologi, pariwisata, dan
pemerintahan.(Hudojo,1998:4).
3. Penyelidikan
yang Autentik
Penyelidikan yang diperlukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah
bersifat autentik. Selain itu, penyelidikan diperlukan untuk mencari
penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan
masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis
informasi, melaksanakan eksperimen, membuat kesimpulan, dan menggambarkan hasil
akhir.
4. Menghasilkan
dan Memamerkan Hasil/Karya
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, siswa bertugas menyusun hasil
penelitiannya dalam bentuk karya (karya tulis atau penyelesaian) dan memamerkan
hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau
dibuatkan laporannya. Berdasarkan
masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya
nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa
transkrip debat seperti pada pelajaran ”Roots
and wings”. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun
program komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan
kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya
yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif
segar terhadap laporan tradisional atau makalah.(Ibrahim,2002:6).
5. Kolaborasi
5. Kolaborasi
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas belajar berupa masalah
yang harus diselesaikan bersamaa-sama antar siswa
dengan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, dan bersama-sama
antar siswa dengan guru. Bekerja sama
memberi motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks
dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan berpikir.(Ibrahim,2002:5)
Dari ciri-ciri di atas terlihat
bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah memberi penekanan pada masalah yang
autentik dan berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu. Berdasarkan pada masalah
tersebut siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah/penyelidikan untuk
memecahkan masalah tersebut. melalui aktivitas pemecahan masalah/penyelidikan
diharapkan siswa dapat menemukan keterampilan-keterampilan atau konsep-konsep
yang lebih sederhana. Dari uraian ini jelas bahwa model pembelajaran
berdasarkan masalah menggunakan pendekatan top-down yang merupakan salah satu ciri dari pembelajaran
berbasis konstruktivisme.
C. Tujuan pembelajaran dan hasil pembelajaran
Pengajaran berbasis
masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan
terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan
masalah, dan keterampilan intelektual; belajar tentang berbagai peran orang
dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan
menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri (Nurhadi, Burhan & Agus, 2004).
Pembelajaran berdasarkan masalah bertujuan untuk (1) membantu
siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah.
(2) belajar peran orang dewasa yang autentik, (3) menjadi pembelajar yang
mandiri.
Adapun pola
hubungan tujuan pembelajaran, proses belajar, dn hal ikhwal yang terjadi pada
siswa dalam rangka kemandirian. Secara umum hal-hal tersebut terjadi sebagai
berikut:
1.
Guru yang membuat
desain instruksional memandang siswa sebagai partners yang memiliki asas emansipasi
diri menuju kemandirian. Guru menyusun acara pembelajaran.
2.
Siswa mwmiliki latar
pengalaman dan kemampuan awal dalam proses pembelajaran.
3.
Tujuan pembelajaran
dalam desain instruksional dirumuskan oleh guru berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Tujuan pembelajaran tersebut juga merupakan
sasaran belajar bagi siswa menurut pandangan dan rumusan guru.
4.
Kegiatan
belajar-mengajar merupakan tindak pembelajaran guru dikelas. Tindak
pembelajaran tersebut menggunakan bahan belajar. Wujud bahan belajar tersebut
adalah bidang studi di sekolah.
5.
Proses belajar
merupakan hal yang dialami oleh siswa, suatu respon terhadap segala acara
pembelajaran yang diprogramkan oleh guru. Dalam proses belajar tersebut , guru
meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
6.
Perilaku siswa
merupakan hasil proses belajar. Perilaku tersebut dapat berupa perilaku yang
tak dikehendaki dan yang dikehendaki. Hanya perilaku-perilaku yag di kehendaki
di perkuat. Penguatan perilaku yang di kehendaki tersebut dilakukan dengan
pengulangan, latihan, drill atau aplikasi.
7.
Hasil belajar merupakan suatu puncak proses
belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama berkat evaluasi guru. Hasil
belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak
tersebut bermanfaat bagi guru dan siswa.
8.
Setelah siswa lulus,
berkat hasil belajar, siswa menyusun pigram belajar sendiri. Dalam penysunan
program belajar sendiri tersebut, sedikit banyak siswa berlaku secara mandiri.
D. Manfaat Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang
untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa
Pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemam -puan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan
intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam
pengalaman nyata atau simulasi;
dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri. Menurut Sudjana manfaat
khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu
para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran.
Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada disekitarnya. (Ibrahim, 2000:7)
E. Langkah-langkah Model Pembelajaran Masalah
Banyak
ahli yang menjelaskan bentuk penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah.
John Dewey seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika menjelaskan 6 langkah
model pembelajaran berdasarkan masalah yang
kemudian dia namakan metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu:
1. Merumuskan
masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan.
2. Menganalisis
masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut
pandang.
3. Merumuskan
hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan
data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan
untuk pemecahan masalah.
5. Pengujian
hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai
dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
6. Merumuskan
rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi
yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan
kesimpulan.
Sedangkan
langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam menggunakan model
pembelajaran pemecahan masalah, antara lain:
1.
Guru menjelaskan
kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang
dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah
yang dipilih.
2.
Guru membantu siswa
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
3.
Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan
masalah.
4.
Guru membantu siswa
dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu
mereka berbagi tugas dengan temannya
5.
Guru membantu siswa
untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap eksperimen mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan
David Johnson & Johnson
mengemukakan ada 5 langkah metode pembelajaran berdasarkan masalah melalui
kegiatan kelompok.
1. Mendefinisikan
masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu
konflik, hingga siswa menjadi jelas tentang masalah apa yang akan dikaji. Dalam
kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu
hangat yang menarik untuk dipecahkan.
2. Mendiagnosis
masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis
berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun yang dapat mendukung
dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok
kecil, hingga pada akhirnya siswa dapat mengurutkan tindakan-tindakan prioritas
yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3. Merumuskan
alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan
melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap siswa didorong untuk berfikir
mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang
dapat dilakukan.
4. Menentukan
dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi
mana yang dapat dilakukan.
5. Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi
proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan;
sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan
strategi yang diterapkan.
F.
Pelaksanaan
Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Suatu soal yang dianggap sebagai “masalah” adalah soal yang memerlukan
keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda
dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara
menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang diketahui dengan yang
ditanyakan, dan biasanya telah ada contoh soal. Pada masalah siswa tidak tahu
bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang untuk
menyeiesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi
pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dan suatu masalah
(Suyitno, 2000: 34).
Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah dalam kegiatan
belajar mengajar didasarkan pada keenam fase. Adapun rincian kegiatan pada setiap fase
adalah sebagai berikut:
Fase 1 : Orientasi
siswa pada masalah
Pada tahap ini guru menyampaikan tujuan
pembelajaran, serta menjelaskan model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pada
kesempatan ini guru juga memotivasi siswa. Setelah menyampaikan tujuan
pembelajaran yang akan dilaksanakan dan meotivasi, guru mengajukan masalah dan
meminta siswa mengemukakan ide dan teori yang dapat digunakan dalam memecahkan
masalah tersebut.
Fase 2 : Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Pada kegiatan ini siswa dikelompokkan
dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan kemampuan. Kriteria kemampuan dilihat
dari hasil pretest. Sehingga satu kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang, dan kurang mampu. Hal ini dilakukan dengan tujuan dalam
menganalisis, masalah yang akan diberikan setiap kelompok mempunyai
penyelesaian yang dapat diandalkan. Penyelesaian awal yang didapat akan menarik
untuk didiskusikan dan dipertahankan kebenarannya. Selain itu pertimbangkan
kemudahan dalam mengikuti prosedur PBI dan memberikan motivasi kepada siswa
yang kurang mampu untuk mengejar ketinggalan selama ini. Secara tidak langsung
pembagian kelompok ini akan memberikan bimbingan kepada siswa yang kurang mampu
dalam menganalisa suatu masalah.
Fase
3 : Membantu Penyelidikan Mandiri
Ataupun Kelompok
Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari
berbagai sumber dengan jalan diberikan berbagai pertanyaan yang membuat mereka
berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk
memecahkan masalah tersebut.
Guru mendorong untuk pertukaran ide secara bebas dan penerimaan sepenuhnya
ide-ide tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan
dalam rangka pembelajaran berdasarkan masalah. Selama penyelidikan, guru
memberikan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa.
Puncak-puncak proyek PBI adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti
laporan, poster, model-model fisik, dan video tape.(Nur,2000:2)
Fase 4 : Membantu
siswa memecahkan masalah
Dalam hal ini, siswa melakukan
penyelidikan/pemecahan masalah. Pada tahap ini guru mendorong siswa
mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen sampai mereka benar-benar
mengerti dimensi situasi permasalahan. Tujuannya ialah agar siswa dalam
mengumpulkan informasi cukup untuk mengembangkan dan menyusun ide-idenya
sendiri. Selain itu guru mengajukan permasalahan/pertanyaan yang dapat
dipikirkan siswa, dan memberikan berbagai jenis informasi yang diperlukan siswa
untuk menemukan penyelesaian awal arena masih harus didiskusikan pada tahap
berikutnya.
Fase 5 : Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
Pada kegiatan ini guru menyuruh salah
seorang anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah
kelompok dan guru membantu jika siswa mengalami kesulitan. Kegiatan ini berguna
untuk mengetahui hasil sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran yang diberikan.
Fase 6 : Menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir pembelajaran berdasarkan masalah, guru membantu menganalisis
dan mengevaluasi proses berfikir siswa.
Sedangkan siswa menyusun kembali hasil pemikiran dan kegiatan yang dilampaui
pada setiap tahap pembelajaran. Dan guru membimbing siswa menyimpulkan
pembalajaran serta memberikan soal-soal untuk dikerjakan di rumah.
Menurut Ibrahim (dalam
Trianto, 2007:72) di dalam kelas PBI, peran guru berbeda dengan kelas
tradisional. Peran guru dalam kelas PBI antara lain: (1) mengajukan masalah
atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan
nyata sehari-hari; (2) memfasilitasi/membimbing penyelidikan, misalnya
melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen; (3) memfasilitasi dialog siswa;
dan (4) mendukung belajar siswa.
G.
Metode Pemecahan Masalah
Masalah adalah suatu situasi (dapat berupa pertanyaan atau
issu) yang disadari dan memerlukan suatu tindakan pemecahan, serta tidak segera
tersedia suatu cara untuk mengatasi situasi itu. Bell (198:310) memberikan
definisi masalah sebagai berikut : “a situation is a problem for a person if he
or she aware of existence, recognize that it requires action, wants or need to
act and does so, and is not immediately able to resolve the problem”.
Dari definisi di atas, ciri-ciri suatu situasi yang dapat
dinyatakan sebagai masalah adalah situasi
itu sendiri, ada kemauan dan merasa perlu melakukan tindakan untuk
mengatasinya, serta tidak segera dapat ditemukan cara mengatasi situasi
tersebut.
Demikian pula suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seorang
siswa, tetapi belum tentu merupakan masalah bagi siswa yang lain. menurut Polya
(dalam Hudoyo, 1989:2), syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah:
1. Pertanyaan yang
diharapkan kepada seorang siswa haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut.
2. Pertanyaan tersebut tidak dapat diselesaikan
dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa. Karena itu faktor waktu jangan dipandang
sebagai hal yang esensial.
Di dalam matematika, “suatu soal atau pertanyaan
akan merupakan suatu masalah apabila tidak terdapat aturan/hukum tertentu yang
segera dapat digunakan untuk menjawab atau menyelesaikan” (Hudoyo: 198). Hal
ini berarti bahwa suatu soal matematika akan menjadi masalah apabila soal itu
tidak memberikan petunjuk penyelesaian.
Di dalam matematika terdapat dua jenis masalah menurut Polya (dalam Hudoyo,
1989:158) yaitu:
a. Masalah untuk menemukan berupa teoritis
atau praktis, abstrak atau konkrit, termasuk teka teki. Kita harus mencari semua
variabel tersebut; kita mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau
mengkonstruksi semua jenis obyek yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
masalah itu. Bagian utama dari masalah itu adala (1) apakah yang dicari?, (2)
bagaimana data yang diketahui?, (3) bagaimana syaratnya?. Ketiga bagian utama
tersebut sebagai landasan untuk dapat menyelesaikan masalah jenis ini.
b.
Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa
suatu pertanyaan itu benar atau salah, tidak kedua-duanya. Kita harus menjawab
pertanyaan “apakah pertanyaan itu benar atau salah?. Bagian utama dari masalah
jenis ini adalah hipotesa dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan
kebenarannya. Kedua bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat
menyelesaikan masalah ini.
Setiap masalah tentu akan diselesaikan untuk menemukan
jawabannya atau pemecahan masalahnya. Menurut Polya (dalam Hudoyo, 1989:112),
pemecahan masalah merupakan usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan
untuk mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Menurut Polya
(dalam Orton, 1992), ada empat tahap yang dapat dilakukan dalam memecahkan
masalah yaitu : (1) memahami masalah, (2) membuat suatu rencana, (3)
melaksanakan rencana tersebut, dan (4) memeriksa kembali hasil yang telah
diperoleh.
Membelajarkan siswa memecahkan masalah dengan pemecahan
masalah akan memungkinkan siswa lebih kritis dan analitis, sehingga siswa
menjadi lebih baik dalam pendidikannya dan dalam kehidupan sehari-hari.
Dikatakan juga bahwa strategi
pembelajaran di masa datang, sebab mampu mengaktifkan peserta didik, meningkatkan motivasi belajar dan kemandirian peserta
didik mudah dikontrol. Akan tetapi ada juga kendalanya yaitu banyaknya peserta
didik dalam satu kelas sehingga akan menggunakan waktu yang banyak dan
membimbing peserta didik memecahkan masalah.
H. Keunggulan dan Kelemahan Metode Pembelajaran Berdasarkan
masalah.
1. Keunggulan
Sebagai suatu strategi pembelajaran, metode pembelajaran
berdasarkan masalah memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
a.
Pemecahan
masalah (problem solving)
merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b.
Pemecahan
masalah (problem solving)
dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan
pengetahuan baru bagi siswa.
c. Pemecahan masalah (problem
solving) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa
d. Pemecahan masalah (problem
solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan
mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk mengembangkan
pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka
lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk
melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
f. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa
memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematikan, IPA, dan
lain sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berfikir dan sesuatu yang harus
dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari
buku-buku saja.
g. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap
lebih menyenangkan dan disukai siswa.
h. Pemecahan masalah (problem solving) dapat
mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan
mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah (problem solving) dapat
memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka
miliki dalam dunia nyata.
j. Pemecahan masalah (problem solving) dapat
mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar
pada pendidikan formal telah berakhir.
2. Kelemahan
Di samping keunggulan, model pembelajaran berdasarkan masalah
juga memiliki kelemahan diantaranya:
a.
Manakala
siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk
mencoba.
b.
Keberhasilan
strategi pembelajaran melalui problem
solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c.
Tanpa
pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang
dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
I.
Evaluasi
Dalam
PBI perhatian pembelajaran tidak pada perolehan pengetahuan deklaratif, oleh
karena itu tugas penilaian tidak cukup bila hanya dengan tes tertulis atau tes
kertas dan pensil (paper and pencil test). Teknik penilaian yang sesuai
dengan model ini adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan siswa yang merupakan
hasil penyelidikan mereka.
Tugas evaluasi yang sesuai untuk model ini terutama
terdiri atas menemukan prosedur penilaian alternatif yang akan digunakan untuk
mengukur pekerjaan siswa, misalnya dengan penilaian kinerja dan peragaan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Hodojo.1998. pembelajaran berdasarkan masalah
http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/model-pembelajaran-berdasarkan-masalah.html diakses tanggal 17 September 2011
Hudoyo.1989. Metode Pembelajaran Masalah. Jakarta:Prenada
Media.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: University Press.
Nur.2000.model pembelajaran berdasarkan masalah
Diakses tanggal 17 September 2011
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media Grup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar