1. PENGERTIAN IMAN
Kata
“Iman” berasal dari bahasa arab, menurut pengertian bahasa “Kepercayaan” (faith). Adapun menurut pengertian agama telah dirumuskan oleh Nabi
sendiri dalam salah satu hadits :
“ Iman ialah engkau
percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab suci-Nya, para rasul-Nya, Hari
kemudian, dan engkau percaya kepada Takdir dan buruknya.”
Dari hadits Nabi
inilah asal mulanya ajaran tentang enam rukun Iman yang terkenal.
2.
PENGERTIAN
QADA DAN QADAR (TAKDIR)
Qadha dan Qadhar dalam pembicaraan sehari-hari
selalu disebut dengan Takdir.
Qadha’ menurut bahasa
memiliki beberapa makna yang berbeda menurut perbedaan struktur kalimatnya, di
antaranya berarti :
a. Hukum,
artinya menghukumi, memutuskan.
b. Perintah,
seperti firman Allah SWT : “dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.”(QS. Al- isra :23).
c. Kabar,
seperti firman Allah : “dan
telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, Yaitu bahwa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh.(Qs. Al-Hijr :66).”
d. Menghendaki
Arti ini dipakai
dalam ayat : “Apabila Allah berkehendak menetapkan
sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu
jadilah Dia.”
Adapun Qhadar maka ia adalah
Takdir, yaitu menentukan atau membatasi ukuran segala sesuatu sebelum
terjadinya dan menulisnya di Lauhul
mahfuzh. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut (Qadhar) ukuran.(QS. Al-Qamar :49).”
Makna kata takdir juga bisa berarti ketetapan yang telah dibuat oleh Allah
Swt menurut ilmu dan sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain, segala sesuatu
yang telah terwujud di masa lalu, di masa kini maupun di masa yang akan dating,
semuanya telah ditetapkan kewujudannya oleh Allah Swt. berdasarkan pada ilmu
dan kehendak-Nya. Atau, dengan bahasa yang lebih urai dapat dikatakan, bahwa
segala sesuatu yang pernah ada atau yang akan ada di masa mendatang telah
ditetapkan oleh Allah Swt. berdasarkan ilmu dan kehendak-Nya.
Qadha
adalah hukum Allah yang telah dia tentukan untuk alam semesta ini, dan dia
jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi hukumNya dari sunnah-sunnah yang
dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya, semenjak dia menghendakinya
sampai selama-lamanya, maka setiap apa yang terjadi di alam ini adalah
berdasarkan takdir yang mendahuluinya. Ini sesuai dengan apa yang telah
ditakdirkan oleh Allah dan yang telah di atur. Maka apa yang terjadi berarti
dia itu telah ditakdirkan dan ditentukan QadhaNya olehNya, dan apa yang belum
terjadi berarti belum ditakdirkan dan belum ditentukan Qadhanya. Apa yang
ditakdirkan bukan bagianmu, tidak akan mengenaimu dan apa yang ditakdirkan
mengenai kamu, tidak akan meleset bagimu.
Perbedaan antara qadha dan
qadhar
Qadhar atau takdir ialah sesuatu yang belum
ditetapkan benar-benar secara final (rencana pokok,master plan yang belum di
ambil keputusan menjalankan), jadi masih bisa diharapkan akan di ubah oleh
Allah atas kehendaknya. Dan apabila sudah ditetapkan(di qadha’kan) maka tak
dapat di ubah lagi (makhluk tak dapat mengelak/menolaknya), seperti kasus
Maryam yang melahirkan Nabi Isa tanpa disentuh oleh seorang manusiapun.
Sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an surat Maryam ayat 20-21 : “20.
Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang
tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang
pezina!" .”21.
Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu
adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia
dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah
diputuskan".
Menurut al-Ragib, “Qadhar”
ialah batas/ukuran yang ditetapkan allah SWT untuk semua ciptaannya. Dan Qadha
ialah keputusan Allah terhadap suatu peristiwa.
3.
KONSEP
IMAN KEPADA TAKDIR (QADHA DAN QADHAR)
Iman kepada Qadhar/Takdir
Allah artinya :
a) Percaya
bahwa Allah itulah yang menjadikan segala makhluknya dengan kodrat (kekuasaan),
iradat (kehendak), dan hikmah-Nya (kebijaksanaan) sebagaimana tersebut dalam
surat al-Furqan ayat 2: “Dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya[1053].” (QS.al-Furqan :2)
[1053] Maksudnya:
segala sesuatu yang dijadikan Tuhan diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan
persiapan-persiapan, sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya
masing-masing dalam hidup.
b) Percaya
bahwa Allah mempunyai beberapa sunnah/hukum dalam menciptakan makhluk-Nya.
Sunah/hukum Allah ini tetap berlaku sepanjang masa, dan tidak akan
berubah-ubah. Misalnya hukum tuhan yang bersifat universal, yang berlaku untuk
semua ciptaan-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat al-A’la ayat 2-3 : “2.
yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), 3. dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk, (QS. Al-A’la :2-3).”
Dengan
memperhatikan surat al-A’la ayat 2-3 tersebut dan ayat-ayat al-Qur’an lainnya,
dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa ada empat hal yang berlaku untuk semua
ciptaan Allah SWT, ialah :
Khalaq (creation) :
diciptakan Allah
Taswiyah (completion) :
disempurnakan-Nya
Takdir (measure) :
ditetapkan ukuran/batasan-Nya
Hidayah (guidance) : diberi
petunjuk
Makna
beriman kepada Qadhar (Takdir) juga berarti percaya bahwa semua yang terjadi,
baik atau pun buruk, semua terjadi atas izin Allah swt. Meskipun manusia diberi
hak untuk menetapkan pilihan atau berkehendak, tetapi Allah Swt yang
menciptakan dan sekaligus memutuskan hasil dari terlaksanakannya kehendak
manusia itu. Segala sesuatu yang dikehendaki manusia tidak akan terjadi jika
tidak sesuai dengan kehendak Allah Swt. Jika Allah ‘Azza Wa Jalla tidak
berkehendak terhadap sesuatu, maka hal itu tidak akan ada masa maupun
tempatnya. Andaikata Allah Swt tidak menghendaki sesuatu untuk selama-lamanya,
maka sesuatu tersebut tidak akan pernah terjadi.. Seperti firman Allah : “22.
tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. 23. (kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,”
[1459] Yang dimaksud dengan
terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui batas yang menyebabkan
kesombongan, ketakaburan dan lupa kepada Allah.
Ayat-ayat tersebut
membuktikan bahwa segala yang terjadi pada alam semesta dan pada jiwa manusia,
yang baik maupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan ditulis
sebelum diciptakannya makhluk. Maka apa yang tidak didapatkan dari suatu yang
disukai tidak mengharuskan rasa susah dan apa yang didapatkan dari kebaikan
tidak mengharuskan rasa suka.
Semua
yang ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui olehNya. Allah
tidak pernah menciptakan kejelekan yang murni, yang tidak melahirkan suatu
kemaslahatan. Maka kejelekan dan keburukan tidak di-Nisbat-kan kepadaNya dari sudut pandang sebagai keburukan yang
murni, akan tetapi ia masuk dalam rentetan makhlukNya.
Segala
sesuatu apabila di-Nisbat-kan kepada
Allah adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak termasuk
kedalam sifat Allah dan tidak juga kedalam perbuatanNya. Dia memiliki
kesempurnaan mutlak. Hal ini ditunjukan firmanNya : “79. apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan)
dirimu sendiri.(Qs. An-Nisaa : 79).”
Maksudnya, segala kenikmatan
dan kebaikan yang diterima manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan
keburukan yang menimpanya adalah karena dosa dan kemaksiataannya. Tidak
seorangpun bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah, pencipta manusia.
Tidak ada yang terjadi didalam kerajaanNya ini melainkan apa yang dia
kehendaki, dan Allah tidak meridhai kekufuran untuk hambaNya. Dia telah
menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala
perbuatan nya adalah terjadi atas kemampuannya dan kemauannya. Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki karena hikmahNya. Tidak ditanya apa
yang dia lakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang amal perbuatan
mereka. Oleh karena itu iman kepada Takdir memberikan arti dimana kita wajib
mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam kehidupan dan
diri manusia adalah menurut hukum, berdasarkan suatu undang-undang uviversil atau kepastian umum atau Takdir.
Sebagai contoh :
Pertama,
bahwa jagat-raya ini isinya antara lain bintang-bintang, dan planet-planet yang
semuanya berjalan menurut “hukum Universil”, dalam rotasi, revolusi dan
ketimbangan benda-benda langit begitu juga isinya. Yang terdiri dari berbagai
jenis benda (padat,cair,dan gas), telah tersusun oleh suatu rumus-rumus
tertentu. Ada pula hokum “gravitasi”
(gaya-berat) yang ditemukan oleh Newton . masih banyak lagi dalil-dalil
fisika yang telah ditemukan, dan yang belum ditemukan adalah jauh lebih banyak.
Semua itu adalah hokum universil (Taqdir) Allah terhadap makhluknya.
Kedua, bahwa
dalam diri kita ada roh, dengan roh itulah kita hidup. Akan tetapi kita
sama-sekali tidak punya kekuasaan terhadap roh itu. Manakala ia akan memisahkan
diri dengan jasmani kita ia tidak akan memandang usia dan kedudukan, kita tidak
mampu menahannya dan untuk itu tibalah akhir hayat kita. Begitulah Takdir
tuhan. Manusia dalam takdir tuhan!
Ketiga, bahwa
setiap manusia lahir kedunia, bukanlah atas kehendaknya sendiri. Manusia lahir
tidak memilih bangsa dan tanah air. Semuanya terlepas dari kehendak dan
kekuasaan manusia. Padahal bentuk kehidupan seseorang ditentukan oleh derajat
pendidikan, social dan rumah-tangganya dimana ia lahir. Masalah ini semuanya
bergantung kepada kehendak dan kekusaan Allah semata-mata, berdasarkan atas
takdir tuhan.
Keempat, Bahwa
pada diri tiap-tiap orang ada yang memiki watak, pembawaan lahir dan bakat yang
berbeda satu sama lain. Para ahli dari sosiologi dan psikologi telah
menyelediki watak dan pembawaan lahir itulah yang menjadi dasar pertumbuhan
seseorang dalam membentuk corak rohaniannya dan secara timbal balik memberikan
pengaruh terhadap lingkungannya. Perbedaan perbedaan intelegensi pada manusia
mudah nampak pada kita, jika orang harus memcahkan masalah-masalah baru dan
soal-soal yang sulit. Yang seseorang dapat memecahkan masalah-masalah atau
problem yang sulit, yang seseorang lagi sudah bingung melihat soal yang
sederhana saja.tapi yang seorang mudah menolong dirinya dari
kesulitan-kesulitan yang seorang dapat juga berlaku demikian, tetapi setelah
lama mencari-cari jalan ; yang ketiga samasekali tidak melihat jalan keluarnya
(way out) dari kesulitan itu. Demikian lah contoh-contoh praktis dari perbedaan
intelegensi yang kita jumpai pada berbagai orang.
Kelima, bahwa
tidak pernah terdapat seseorang yang ingin sakit atau gagal. Sehat lahir batin
dan sukses, itulah yang selalu menjadi doa dan impian manusia. Karena itulah
manusia belajar tentang kesehatan, ilmu
dan metode untuk sukses. Namun kita dihadapkan kepada kenyataan, bahwa pada
saat yang tak terduga bahkan pada waktu yang begitu penting bagi kita, secara
tiba-tiba jatuh sakit. Suatu urusan yang telah diperhitungkan secara matang,
telah pula ditinjau dari berbagai segi, tapi kemudian hanya persoalan kecil
saja urusan itu jadi berantakan, gagal. Maka sakit dan gagal bukanlah kehendak
manusia. Semuanya adlah peranna takdir, suka atau tidak takdir jua yang
berkuasa.
Selanjutnya, mari
kita berkelana lagi tentang takdir ini. Kita lihat segi rezki dan keberuntungan
manusia. Ada orang yang kerja keras siang malam mencari rezki, tapi rezki itu
tak kunjung jua dating menurut yang dicita-citakan. Sebaliknya ada orang yang
goyang-goyang kaki saja, namun rezki datnang mengejar dia. Pangkat dan
kedudukan demikian pula. Sebaliknya ada orang telah berusaha hendak menjadi
orang yang baik. Tiba-tiba dalam separoh perjalanan hidupnya tergoyahlah
langkahnya kepada jalan sesat, sehingga dia jadi orang jahat. Kadang-kadang jua
ia teringat menjadi orang baik, namun semua habis dalam impian. Walaupun ia
benci dan jijik dengan perbuatannya itu sendiri. Hidupnya di akhiri dengan
“su’ul khatimah”, di tutup dengan kejahatan. Begitulah takdir Tuhan pada
hambanya.
Dengan
analisa dimuka menunjukan kekeliruan Ma’bad Al-Juhaeny al-bishry (wafat 699 M)
yang telah mendirikan madzhab Qadariyah hidup
dan kehidupannya. Disinilah pula kekeliruan kaum Mu’tazilah yang senantiasa melebih-lebihkan kemampuan akal dan
melebih-lebihkan kebebasan berbuat manusia.
Percaya
kepada takdir Allah SWT hendaknya dipahami dan diyakini dengan
hati-hati dan didasari dengan iman yang kukuh, pengetahuan yang luas dan ikhlas
sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang salah atau terhindar dari aqidah yang
menyesatkan. Disamping itu iman kepada takdir tidak boleh menimbulkan sikap
malas bekerja, apatis, acuh tak acuh, dan tidak mau berusaha. Kesalahan
memahami takdir akan menimbulkan anggapan bahwa manusia itu ibarat robot
sehingga tidak mempunyai daya kekuatan dan kekuasaan sedikitpun.
Dalam
hal-hal tertentu, manusia mempunyai otoritas atau kebebasan untuk memilih dan
berbuat sesuai kodratnya sebagai makhluk. Allah SWT, melalui rasulnya telah
memberi petunjuk tentang jalan yang lurus dan harus ditempuh oleh manusia
apabila ingin selamat dan bahagia di unia dan akhirat. Manusia melalui
otoritasnya itulah yang menentukan sendiri jalan lurus maupun sesat.
Sesungguhnya seseorang yang mengetahui masalah takdir dengan baik, dan
sekaligus dapat menangani setiap rahasia yang terdapat dalam Qalbunya, meskipun
harus ditempuh setahap demi setahap, adalah seperti seorang yang berhasil
menangani segala kesulitannya. Dan, biasanya ia akan menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah Swt. Sebab, ia memahami makna dari firman Allah berikut
: “96. Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(QS ASH
SAAFFAAT: 96).”
Secara umum, segala sesuatu diciptakan oleh Allah Swt. termasuk semua
perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Tetapi hal
tersebut bukan berarti Allah Swt. menciptakan kejahatan. Semua yang diciptakan
oleh Allah Swt. adalah kebaikan. Kejahatan atau keburukan tidak boleh
dinisbahkan kepada Allah Swt.
Sesuatu menjadi baik atau buruk setelah dinisbahkan kepada manusia. Artinya
Allah Swt. menciptakan manusia berpotensi untuk melakukan kebaikan dan
melakukan kejahatan. Allah Swt. tidak akan perintahkan kepada umat manusia
untuk berbuat kebaikan kalau Dia tidak menciptakan manusia itu mampu melakukan
kebaikan itu. Begitu pula sebaliknya, Allah Swt. tidak akan larang manusia
melakukan kejahatan kalau Dia tidak menciptakan manuisa mampu melakukan
kejahatan itu. Dari segi inilah kita meyakini semua perbuatan manusia adalah
makhluk ciptaan Allah Swt.
Misalnya kalau Allah tidak menciptakan manusia berpotensi untuk minum
khamr, berjudi, berzina, mencuri, dan kejahatan lainnya, tentu tidak perlu
Allah melarang mereka melakukan itu semua. Begitu pula sebaliknya, jika Allah
tidak menciptakan manusia berpotensi untuk mendirikan shalat, mengerjakan
puasa, bersedekah, berjihad, dan amal sholeh lainnya, maka Allah tidak akan
memerintahkan manusia untuk melakukannya.Justru disitulah letaknya
kebijaksanaan dan keadilan Allah Swt.. dia uji manusia dengan sesuatu yang
menusia mampu melakukannya, dan Dia beri balasn yang setimpal dengan hasil
ujian masing-masing.
Kalau hal di atas dapat kita pahami tentu tidak akan timbul lagi pertanyaan
“Jika Allah Swt adalah yang menciptakan kita dan semua perbuatan kita, lalu mengapa
Dia mengadili perbuatan jahat yang kita lakukan, sedang Dia yang
menciptakannya?”
Jika seseorang menyandarkan seluruh perbuatannya hanya kepada Allah Swt.,
maka ia akan berusaha untuk berlepas diri dari segala bentuk keburukan yang
akan dan telah (pernah) ia lakukan. Ia akan beranggapan, bahwa kebaikan atau
keburukan yang telah maupun akan ia lakukan termasuk bagian dari rangkaian takdir
serta ketetapan Allah Swt. Sehingga ia tidak akan pernah menolak untuk
bertanggung jawab atas segala bentuk keburukan yang pernah ia lakukan, dan ia
tidak akan merasa bangga dengan segala jenis kebaikan yang ia telah (pernah)
kerjakan.
Hal-hal yang memiliki kaitan
dengan qadha dan qadhar antara lain sebagai berikut :
a. Ikhtiar
Ikhtiar
adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material,
spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera
dunia akhirat terpenuhi.
Keberadaan
qadha dan qadhar tentu saja tidak dimaksudkan untuk membuat manusia menjadi makhluk pasif yang
selalu menerima dan tergantung pada sesuatu. Diam dan pasif bertentangan dengan
fitrah manusia dan ajaran tauhid. Oleh
karena itu sikap menggantungkan nasib pada takdir Allah SWT tanpa melakukan
usaha atau berikhtiar merupakan sikap yang tidak terpuji. ikhtiar juga harus
dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan dan ketrampilannya. Akan tetapi jika usaha kita gagal,
hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan keras dan
tidak berputus asa. Firman Allah SWT : “87.
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".(QS. Yusuf :
87).”
Kegagalan
dalam usaha , anatara lain dikarenakan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat
dalam diri manusia itu sendiri. Apabila gagal dalam suatu uasah itu sendiri,
setiap muslim di anjurkan untuk bersabar karena orang yang bersabar tidak akan
gelisah dan berkeluh kesah dan berputus asa.
Kepercayaan
kepada takdir memberikan keseimbangan
jiwa, tidak berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak pula membanggakan diri atau sombong karena suatu kemujuran. Sebab
segala sesuatu tidak hanya bergantung pada dirinya sendiri, melainkan juga
kepada keharusan universal, mengembalikan segala persoalan kepada Allah yang
maha kuasa. “Agar kamu tidak menjadi putus asa atas kemalangan yang menimpamu,
dan tidak pula terlalu bersuka ria atas kemujuran yang datnang kepadamu.” Iman
kepada takdir akan meningkatkan ketaqwaan, bahwa baik keburuntungan dan kegagalan
dapat di anggap sebagai ujian dari tuhan. Ujian itu perlu diberikan kepada
mereka yang beriman agar sejahtera dan bahagia hidupnya.
b. Tawakal
Tawakal
adalah penyerahan sesuatu kepada Allah SWT. Atau menggantungkan urusan diri
kepada Allah SWT sedang kita sendiri tidak mengurangi usaha dan tenaga dalam
usaha itu. Setelah berikhtiar, orang yang bertawakal harus mengembalikan
masalah yang dihadapinya kepada Allah SWT. Setelah benar-benar berikhtiar, ia
berpasrah diri Karena memang tidak ada lagi yang dapat dilakukan, kecuali
tergantung kepada Allah SWT dan berdoa. Apapun hasil dari apa yang di
ikhtiarkan, akan diterimanya dengan sikap tawakal.
Didalam
al-Qur’an dan hadits, terdapat banyak ayat dan hadits yang menunujukan kepada
kita, bahwa manusia harus tawakal dan tawakalnya itu harus didahului atau
sekurang-kurangnya disertai dengan hal-hal sebagai berikut :
Kebulatan tekad/kemauan,
sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Imran ayat 159 : “Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Usaha dan tenaga
(Langkah-langkah yang perlu dilakukan)
Yang dapat membawa seseorang
untuk mencapai maksudnya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Anfaal
ayat 60 : “60.
dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya.”
Siap mental dalam menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Jika usahanya berhasil, bersyukurlah
kepada Allah atas karunia dan pertolonganNya. Dan jika ia gagal, bersabarlah
dan tidak berputus asa, serta masih kuat kemauannya untuk berusaha lagi.
Perhatikan firman Allah dalam QS. An- nahl ayat 41-42 : “41.
dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami
akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya
pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, 42. (yaitu) orang-orang yang
sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.”
Macam-macam Takdir
Takdir
pertama
Adalah
takdir umum (Takdir azali) meliputi segala hal dalam lima puluh ribu sebelum
terciptanya langit dan bumi, ketika Allah menciptakan Al Qalam dan memerintahkannya menulis segala apa yang ada sampai
hari kiamat. Ini adalah Takdir Azali. Firman Allah : “22. tiada suatu bencanapun yang menimpa
di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.(QS. Al-Hadiid :22).”
Takdir
Kedua
Takdir
Ummuri, yaitu takdir yang diebrlakukan manusia pada awal penciptaannya, ketika
pembentukan air sperma sampai pada masa sesudah itu dan bersifat umum, mencakup
rezki, perbuatan, kebahagiaan dan kesengsaraan.
Takdir
Ketiga
Takdir
Sanawi (tahunan) yaitu yang di catat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun, firman Allah : 4.
pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah[1370], 5. (yaitu) urusan yang besar
dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul,(QS.
Ad-Dukhan : 4-5)”
[1370] Yang dimaksud dengan
urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan
makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya.
Takdir
Keempat
Takdir
Yaumi (harian), yaitu yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang telah
ditakdirkan dalam satu hari, mulai dari penciptaan, rezki, menghidupkan, mematikan,
mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan dan lain sebagainya. Sebagai friman
Allah : “29.
semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia
dalam kesibukan[1444]. (QS. Ar-rahman : 29)”
[1444] Maksudnya: Allah
Senantiasa dalam Keadaan Menciptakan, menghidupkan, mematikan, Memelihara,
memberi rezki dan lain lain.
Takdir
ini dan kedua takdir sebelumnya (Ummuri dan sanawi) merupakan penjabaran dari
takdir Azali.
Tingkatan Beriman Kepada
Takdir
Iman kepada Takdir
memiliki empat tingkatan :
Tingkatan Pertama
Iman
kepada ilmu Allah yang merupakan sifat Allah sejak Azali. Dia mengetahui segala
sesuatu. Dia mengusai segala sesuat, tidak ada makhluk sekecil apaun dilangit
dan dibumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluknya
sebelum Dia menciptakannya. Dia mengetahui kondisi mereka dan hal ihwal mereka
dimasa yang akan mendatang, semuanya baik yang rahasia maupun terang-terangan. Firman
Allah : “22.
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Hasyr : 22).”
Tingkatan Kedua
Mengimani
bahwasanya Allah menulis dan mencatat makhlukNya di Lauh mahfuzh. Tidak ada suatu apapun yang terlupakan. Firman Allah
: “22.
tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(QS.
Al-Hadiid :22).”
Tingkatan Ketiga
Iman
kepada masyiah (kehendak) Allah dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Apa yang dia
kehendaki pasti terjadi berkat kekuasaanNya dan apa yang tidak dia kehendaki
tidak akan terjadi bukan karena tidak mampu, melainkan karena dia tidak
menghendakinya. Allah Berfirman : “29. dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.(QS. At-takwiir : 29).”
Tingkatan Keempat
Mengimani
bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selainNya, dan
tidak ada Rabb (Tuhan) selainNya. Hal ini berdasarkan Dalil Allah SWT : “62.
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.(QS.
Az-zumar :62).”
Dalam
ayat-ayat tersebut terdapat pernyataan yang jelas bahwa Allah dialah yang
menakdirkan segala sesuatu dan yang menciptakannya. Allah telah menakdirkan dan
menciptakan segala yang ada tanpa ada contoh sebelumnya. Allah adalah pencipta
orang yang berbuat serta perbuatannya.
4.
HIKMAH
IMAN KEPADA TAKDIR (QADHA DAN QADHAR)
Dengan beriman kepada qadha dan qadar (Takdir), banyak
hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan
mempersiapkan diri untuk akhirat.
Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari keimanan
kepada Takdir ini, antara lain yaitu:
1. Melahirkan
kesadaran bagi umat manusia bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berjalan
sesuai dengan undang-undang, aturan dan hukum yang telah ditetapkan dengan
pasti oleh Allah SWT.
2. Mendorong
manusia untuk berusaha dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan diakhirat, mengikuti hukum sebab akibat yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT.
3. Mendorong
manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT yang memiliki kekuasaan
dan kehendak yang mutlak, di samping memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan
kasih sayang kepada makhluk-Nya.
4. Menanamkan
sikap tawakkal dalam diri manusia, karena menyadari bahwa manusia hanya bisa
berusaha dan berdoa, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT.
5. Mendatangkan
ketenangan jiwa dan ketentraman hidup, karena meyakini apa pun yang terjadi
adalah atas kehendak dan qadar Allah SWT.
6. Banyak
bersyukur dan sabar. Orang yang beriman kepada qadha dan qadar apabila mendapat
keberuntungan ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat
Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya jika ia mendapat musibah ia akan
bersabar, karena musibah tersebut adalah menjadi ujian. Firman Allah: “53.Artinya:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah (datangnya), dan bila
ditimpa kemudratan, maka hanya kepada-Nyalah meminta pertolongan.” ( QS.
An-Nahl:53)”
7. Menjauhkan
diri dari sifat sombong dan putus asa. Orang yang tidak beriman kepada qadha
dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan tersebut
semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila
ia mengalami kegagalan, ia berkeluh kesah dan berputus asa, karena ia menyadari
bahwa kegagalan itu merupakan ketentuan Allah. Firman Allah: “87.Artinya: “Hai anak-anakku, pergilah
kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf:87)”
8. Bersifat
optimis dan giat bekerja. Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa
bersifat optimis dan giat bekerja agar meraih keberhasilan itu. Firman Allah: “77.
Artinya: “Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat kerusakan.” (QS.
Al-Qashas:77)”
9. Jiwanya
tenang. Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami
ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang
ditentukan Allah kepadanya. Jika ia berhasil atau beruntung, ia akan bersyukur.
Jika terkena musibah atau gagal, ia akan besabar dan berusaha lagi. “27.
Hai jiwa yang tenang. 28.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, 30.
masuklah ke dalam syurga-Ku.(QS. Al-Fajr:27-30).”
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhdi,Masjfuk,1993.Studi Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Margiono Dkk,2007.Pendidikan Agama Islam 3.Jakarta:Pertpustakaan Nasional.
Ilyas,Yunahar, 1998.Kuliah Aqidah, Yogyakarta : LPPI UMY.
Bashori,Agus Hasan,2001. Kitab Tauhid, Jakarta : Universitas Islam Indonesia.
Razak,Nasruddin,1971.Dienul Islam, Semarang :Percetakan Offset.
Gulen,Fethullah,2005. Qadar,Ditangan Siapakah Takdir Atas Diri Kita, Jakarta: Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar