Kamis, 14 Maret 2013

Pembelajaran Matematika Realistik



PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK ( P M R )

A.    Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
1.    Sejarah PMR
Pada tahun 1973, Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama RME (Realistic Mathematics Education). Dalam penelitian ini RME tersebut diberi istilah sebagai Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), yang dipandang sebagai pendekatan dan berupa urutan sajian bahan ajar.
PMR awalnya dikembangkan di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia. Dengan ide utamanya adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan (Heuvel, 1998).
Esensi dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), dapat ditemukan pada pandangan Freudenthal yang sangat penting yang berkaitan dengan PMR yaitu: “mathematics must be connected to reality” dan “ mathematics as human activity”. (Waraskamdi.2008)
gertian PMR
Dan saat ini pembelajaran masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran (Gravemeijer: 1994).
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilaksanakan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan”realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhass, 2000).
Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu.
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik (PMR), yaitu sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. 1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata.
1.    Pendekatan Mekanistik
                             Pendekatan mekanistik adalah pendekatan secara tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.  Kedua jenis matematisasi tidak digunakan (Waraskamdi : 2007)



2.    Pendekatan Empirik
                             Merupakan satu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
3.    Pendekatan Strukturalistik
                             Merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
4.    Pendekatan Realistik
                             Merupakan suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pokok permasalahan.
Tujuan PMR yaitu memudahkan siswa dalam menyelesaikan soal cerita yang terkait dengan pecahan bahkan matematika realistik menyajikan materi dengan rill. (scribd.com)

B.     Karakteristik Perkembangan Matematika Realistik
Untuk memahami PMR kita harus mengetahui karakteristik PMR sebagai berikut :
1.    Karakteristik PMR secara umum
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ”dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers, 1991; Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Menggunakan konteks “dunia nyata”
Menggunakan konteks “dunia nyata” artinya dalam pembelajaran metematika realistic lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa (De Lange : 1987). Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung dan siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
a.         Menggunakan model-model (matematisasi)
  Menggunakan model artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ketingkat abstrak ( De Lange : 1987). Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
b.         Menggunakan produksi dan konstruksi (kontribusi siswa )
Menggunakan konstribusi siwa artinya pemecahkan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa. (Streffland : 1991). Dalam hal ini, menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi–strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
c.         Menggunakan interaktif
            Menggunakan Interaktif artinya aktifitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya (Waraskamdi : 2007). Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pernyataan atau  refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
d.        Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Menggunakan Intertwin artinya topic-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dpat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak (Waraskamdi : 2007). Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks  tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
2.    Karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:
a.         Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
b.         Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model  matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.
3.    Karakteristik Pembelajaran Realistik Menurut Marpaung (2003) adalah sebagai berikut:
a.     Siswa aktif dalam proses pembelajaran.
b.    Pembelajaran dimulai dengan menyajikan kepada siswa masalah kontekstual atau masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah itu dapat berupa masalah yang menyajikan real world yang dijumpai dalam kehidupan nyata atau dunia nyata yang dapat dibayangkan siswa.
c.    Siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah itu berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
d.   Guru membimbing siswa dalam menemukan atau mengkontruksikan pengetahuan itu menuju pengetahuan formal.
e.    Guru berperan sebagai fasilitator.
f.     Dalam rangka menemukan itu proses matematisasi adalah penting, level masalah perlu diperhatikan.
g.    Belajar tidak hanya dari guru, tapi juga dari kawan atau orang lain
maka interaksi dan negosiasi adalah penting.
h.    Siswa perlu melakukan refleksi, interpolasi, dan internalisasi.
i.      Yang diutamakan adalah Pemahaman relasional.
j.       Pemahaman matematika tidak dapat di transfer dari yang mengetahui  ke yang belajar.
4.     PMR menurut pandangan kontruktivis
Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada :
a.    Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
b.    Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
c.    Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
d.   Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Ada tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer (1994: 90), yaitu sebagai berikut :
1)        Guided reinvention and progressive mathematizing (Menemukan kembali dan matematesasi progresif)
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematis secara progresif. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh siswa itu sendiri. Yakni peserta didik diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya melalui aktifitas siswa dikharapkan menemukan “kembali” sifat, defenisi, teorema atau prosedur-prosedur. (I Gusti Putu Suharta.2009)
2)        Didactical phenomenology (fenomena didaktif)
Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika atas dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam proses matematika. (I Gusti Putu Suharta.2009)
Gravemeijer (1994:90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topic-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu:
a)    Memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran
b)   Kesesuaian sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam fenomena pembelajaran ini menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika pada siswa.
Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu :
a)                   aspek kecocokan dalam pembelajaran
b)                  kecocokan dampak dalam proses re-invention
c)                   Self developed models
Gravemeinjer menjelaskan berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangankan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada yang dimiliki siswa (Gravemeinjer : 1994).




3)        Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan masalah-masalah  kontekstual.
Self-developed Models (pengembangan model sendiri); kegiatan ini berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat siswa sendiri dalam memecahkan masalah. Model pada awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal (akrab) dengan siswa. Dengan suatu proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut akhinrya menjadi suatu model sesuai penalaran matematika (Anonim,  tt)
5.    PMR menurut pandangan kontekstual
                 Pendekatan kontekstual didasarkan pada keyakinan bahwa seseorang akan tertarik untuk mempelajari sesuatu apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya itu.
Makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Di sini konteks diartikan sebagai situasi atau keadaan yang memberi makna kepada suatu objek. Tugas utama guru menurut pendekatan kontekstual adalah menyediakan konteks yang memberi makna pada isi sehingga melalui makna tersebut siswa dapat menghubungkan isi pelajaran dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Pendekatan kontekstual memiliki delapan prinsip (Hadi, 2005), yaitu:
a. hubungan yang bermakna,
b. pekerjaan yang berarti,
c. pengaturan belajar sendiri,
d. kolaborasi,
e. berpikir kritis dan kreatif
f. pendewasaan individu,
g. pencapaian standar yang tinggi, dan
h. penilaian autentik.
Peran guru menurut pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut :
a.              Mengkaji konsep yang harus dipelajari siswa
b.              Memahami pengalaman hidup siswa
c.              Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa
d.             Merancang pembelajaran yang mengaitkan konsep dengan  pengalaman  siswa
e.              Membantu siswa mengaitkan konsep dengan pengalaman mereka Mendorong siswa membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman mereka tentang konsep yang sedang dipelajari.  (Nurhadi et al., 2005)
Ada tujuh komponen utama dalam pendekatan kontekstual, yaitu  (Nurhadi et al, 2005):
a.         Konstruktivisme
Dalam komponen ini siswa memperoleh pemahaman yang mendalam melalui pengalaman belajar yang bermakna dengan cara membangun sendiri pengetahuannya sedikit demi sedikit dari konteks yang terbatas.
b.         Penemuan
Di sini siswa mengembangkan pemahaman konsep melalui siklus mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori baik secara individu maupun berkelompok. Keterampilan berpikir kritis juga dikembangkan di sini.
c.         Bertanya
Dalam komponen ini siswa didorong untuk mengetahui sesuatu dan memperoleh informasi. Di samping itu, kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih dan sekaligus dinilai.
d.        Masyarakat Belajar
Di sini siswa dilatih untuk berbicara dan berbagi pengalaman serta bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik.
e.         Permodelan
Di sini siswa diberi model (contoh) tentang apa yang harus mereka kerjakan. Pemodelan dapat berupa demonstrasi dan pemberian contoh.
f.          Penilaian Autentik (Sebenarnya)
Dengan komponen ini proses dan hasil kedua-duanya dapat diukur.
g.         Refleksi
Komponen ini merupakan komponen yang penting karena memberi kesempatan untuk melihat kembali apa yang sudah dikerjakan termasuk kemajuan belajar dan hambatan yang ditemui.

C.    Langkah – Langkah  Pembelajaran
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Pada tahap ini “karakteristik” pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai starting point dalam pembelajaran untuk menuju ke matematika formal sampai ke pembentukan konsep.
2.    Menjelaskan masalah kontekstual
Jika situasi siswa macet dalam menyelesaikan masalah, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya (bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami oleh siswa, penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah. (Gravemeinjer:1994). Yang tergolong dalam langkah ini adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.
3.    Menyelesaikan masalah kontekstual
Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara individu berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan (Gravemeinjer:1994). Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembaran kerja, siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara sendiri berupa pemberian petunjuk atau pertanyaan seperti, bagaimana kamu tahu itu , bagaimana mendapatkannya, mengapa kamu berpikir demikian, dan lain-lain berupa saran. Pada tahap ini, beberapa dari ‘prinsip’ pembelajaran matematika realistik akan muncul dalam langkah ini misalnya prinsip self developed models. Sedangkan pada ‘karakteristik’ pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah kedua yaitu menggunakan model.

4.    Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
                 Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan (memeriksa, memperbaiki) dan didiskusikan di dalam kelas. Sementara di tahap ini sebagai ajang melatih siswa mengeluarkan ide dari kontribusi siswa di dalam berinteraksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan sarana prasarana untuk mengoptimalkan pembelajaran. Karakteristik pembelajaran matematika realistic yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa (Gravemeinjer:1994).


5.    Menyimpulkan
 Dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur. Pada tahap ini ‘karakteristik’ pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan langkah – langkah pembelajaran di dalam proses pembeajaran matematika adalah:
1.    Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa)
2.    Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran 
3.    Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna
4.    Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
5.    Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan
6.    Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. (Waraskamdi.2008)
D.           Teori Belajar yang Relevan dengan Perkembangan Matematika Realistik
1. Teori piaget
           Piaget (dalam ibrahin, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia disekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan mendorong pikiran merekan untuk menbangun tampilan tentang dunia tersebut dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau schemata (jamak).
Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang kedalam realitas disekitarnya.proses adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya.
2. Teori Vygotsky
Pandangan Vygotsky (1997) tentang arti penting interaksi social dalam perkembangan intelektual anak tampak dari 4 ide kunci yang membangun teorinya, yaitu:
a.    Penekanan pada hakikat sosial.
    Vygotsky (1997) mengemukakan bahwa anak belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam proses belajar yang demikian, seorang anak yang sedang belajar tidak hanya menyampaikan pengertiannya atas suatu masalah kepada dirinya sendiri namun ia juga dapat menyampaikan nya pada orang lain disekitarnya.
b.    Zone Proximal Development (Wilayah perkembangan terdekat)
Didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Vygotsky (1997) menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat perkembangan aktual seseorang sudah mampu untuk belajar atau memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan yang ada pada dirinya pada saat itu. Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat perkembangan intelektual yang dicapai seseorang dengan bantuan orang lain yang lebih mampu.
Tingkat perkembangan potensial terletak diatas tingkat perkembangan aktual seseorang. Perubahan itu berlangsung dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah perkembangan terdekat.
c.    Pemagangan kognitif (cognitive apprenticheship)
Menurut Vygotsky (1997), dalam proses pemagangan kognitif seorang siswa bertahap mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar, orang dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih.
d.   Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin: 1997).  Scaffolding maksudnya seorang guru memberikan bantuan kepada siswanya untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
3. Teori Ausubel
Menurut Ausubel (1997) belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut mengakaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
4. Teori  Gasong  
Menurut teori  Gasong (2009) asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.
Menurut Gasong (2009) bahwa Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
5.     Teori Burner
Burner berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari hubungan antara konsep-konsep  dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu lebih mudah diingan dan dapat dipahami lebih komprehensif. Tiga tahap perkembangan mental menurut Bruner:
a.    Enactive
     Dalam tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetaahuan secara aktiv dengan menggunakan garis miring memanipulasi benda-benda konkret atau situasi nyata secara langsung.
b.    Ikonic
     Pada tahap ini kegiatan belajar seseorang sudah mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek.
c.    Simbolic
     Tahap terakhir ini  adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran objek (Slavin: 1997).

E.     Konsepsi Siswa Dalam PMR
Pendekatan  matematika realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
1.                  Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif  tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2.                  Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
3.                  Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan.
4.                  Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
5.                  Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.

Peran Guru

PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1.      Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
2.      Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3.      Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
4.      Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial. (Masbied.2010)

Konsepsi tentang Pengajaran

Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut:
1.        Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
2.        Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
3.        Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
4.        Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. (De Lange, 1995)
 Titik awal proses belajar dengan pendekatan matematika realistik menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa mempunyai konsep awal tentang ide-ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses tersebut dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan pengetahuan baru tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. (M. Asikin Hidayat, 2001).

F.     Kelebihan Dan Kekurangan Pembelajaran Matematika Realistik
Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan PMR.
a.    Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
4.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai. (Suwarsono.2001)

b.   Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistik
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
1.             Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.
2.             Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3.             Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4.             Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Walaupun pada pendekatan PMR memiliki kesulitan-kesulitan dalam upaya implementasinya, namun penulis optimis bahwa kendala-kendala tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini sangat tergantung dari upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari guru, serta respons siswa untuk menerapkannya pada kegiatan belajar mengajar di kelas, kiranya berbagai kesulitan tersebut lambat laun dapat diatasi. (Masbied.2010)

G.      Pengembangan Pembelajaran Matematika Realistik di Indonesia
                 Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu berkompetisi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh hasil maksimal. Pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut dapat dicapai dengan terlaksananya pendidikan yang tepat waktu dan tepat guna untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah merupakan lembaga formal penyelenggara pendidikan. Melalui aktivitas belajar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengalaman belajar sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa. Pelaksanaannyapun harus dilaksanakan dengan pendekatan belajar yang relevan dengan paradigma pendidikan sekarang. Paradigma baru pendidikan sekarang ini lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi .Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan dalam pembelajaran matematika yang sesuai dengan paradigma pendidikan sekarang. PMRI menginginkan adanya perubahan dalam paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar. PMRI selama ini merupakan sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang relatif baru dan belum semua kalangan dalam dunia pendidikan mengenalnya. Pembelajaran matematika selama ini terlalu dipengaruhi pandangan bahwa matematika adalah alat yang siap pakai. Pandangan ini mendorong guru bersikap cenderung memberi tahu konsep/ sifat/ teorema dan cara menggunakannya. Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimiliki ke pikiran anak dan anak menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Adakalanya siswa menjawab soal dengan benar namun mereka tidak dapat mengungkapkan alasan atas jawaban mereka. Siswa dapat menggunakan rumus tetapi tidak tahu dari mana asalnya rumus itu dan mengapa rumus itu digunakan. Keadaan demikian mungkin terjadi karena di dalam proses pembelajaran tersebut siswa kurang diberi kesempatan dalam mengungkapkan ide-ide dan alasan jawaban mereka sehingga kurang terbiasa untuk mengungkapkan ide-ide atau alasan dari jawabannya.
Perubahan cara berpikir yang perlu sejak awal diperhatikan ialah bahwa hasil belajar siswa meruapakan tanggung jawab siswa sendiri. Artinya bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik siswa sendiri dan pengalaman belajarnya. Tanggung jawab langsung guru sebenarnya pada penciptaan kondisi belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang baik (Marpaung, 2004). Pengalaman belajar akan terbentuk apabila siswa ikut terlibat dalam pembelajaran yang terlihat dari aktivitas belajarnya. PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna dengan mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan situasi dalam dunia nyata (Zulkarnain, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, M. 2001. Realistics Mathematics Educations (RME): Sebuah harapan baru dalam pembelajaran matematika. Makalah Seminar. Disajikan pada Seminar Nasional RME di UNESA Surabaya, 24 Februari.

Caslam.   2007.  Implementasi    Model   Pembelajaran   Realistic    Mathematic


Dimyati, Dr dan Drs. Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


I Gusti Putu Suharta.2009. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik.Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta

Ika fitriyani. 2009. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Tersedia di http://etd.eprints.ums.ac.id/7223/1/A410050245.PDF. Diakses tanggal 22 September 2010

Masbied.2010. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik tersedia di http://www.masbied.com/2010/03/20/implementasi-pembelajaran-matematika-realistik-setting-kooperatif-materi-aritmetika-sosial-pada-siswa-kelas-vii-smp/ . Diaskes 22 September 2011

Massofa. 2008. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Tersedia di  http: //massofa. wordpress. com /2008/09/13/ pendekatan  pembelajaran - matematika-realistik/. Diakses tanggal 23 September 2010

Scribd. 2011. Pembelajaran Matematika Realistik. Tersedia di http://www.scribd.com/doc/52317899/Pembelajaran-Matematika-Realistik. Diaskes 22 September 2011

Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1977. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka

Waraskamdi. 2008. Pembelajaran Matematika. Tersedia di http: //waraskamdi. com/ index2ni. Diakses tanggal 22 September 2011
Wordpress. 2011. Pendidikan Matematika Realistik Di Indonesia. Tersedia di http://h4mm4d.wordpress.com/2009/02/27/pendidikan-matematika-realistik-indonesia-pmri-indonesia/ Diaskes 22 September 2011






3 komentar:

  1. Terimakasih atas semua penjelasan tentang teori belajar sebab hal ini menambah wawasan bagi kami selaku pembaca

    BalasHapus
  2. terima kasih. artikel ini membantu saya

    BalasHapus